Diana memasuki coffee shop dengan kepala menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok seseorang yang memanggilnya untuk datang ke sini.
Iya, siapa lagi orang itu kalau bukan Juna? Begitu melihat ada panggilan masuk dari nomor kontak yang ia namai 'Bpk. Arjuna Kaisar', dahi Diana langsung mengerut dalam. Seingat Diana, ia belum pernah memberikan nomornya pada lelaki itu. Bagaimana bisa tiba-tiba lelaki itu menghubunginya? Namun kerutan di dahi Diana segera hilang kala ia teringat kalau Juna adalah mantan adik ipar Meisya. Jika Juna saja bisa tahu namanya sebelum Diana memperkenalkan dirinya, maka tak aneh kalau sekarang juga Juna sudah tahu nomor ponselnya tanpa Diana memberitahunya.
Saat tak menemukan sosok Juna di dalam, Diana pun langsung melangkah lurus ke meja kasir untuk memesan minum. Namun ketika Diana hendak membuka mulutnya untuk memesan, Fadli─kasir di hadapannya─ telah lebih dulu menyapanya.
"Eh, Mbak Diana, sudah ditunggu Bang Juna di ruangannya. Mari saya antar, Mbak."
Diana sedikit terkejut, tetapi kemudian ia tersenyum. "Saya mau pesan Ice Coffee Float ya," ujarnya.
"Baik, Mbak, nanti saya antar ke ruangan Bang Juna pesanannya."
"Eh, jangan!" sergah Diana. Ia kemudian berbalik sekilas untuk menatap keluar sebelum kembali menghadap ke kasir lagi. "Saya mau duduk di luar, tolong antar ke luar ya," ujarnya.
"Tapi, Mbak─"
"Udah gak apa-apa." Diana pun lantas mengambil selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompetnya lalu meletakannya di meja kasir. "Saya tunggu luar ya. Terima kasih," lanjutnya sambil lalu dengan sengaja tak mengindahkan suara Fadli yang memanggil namanya.
Melihat Diana yang sudah melewati pintu keluar, Fadli menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. "Ini gimana jadinya, sih?" gumamnya. Ia pun lantas berlalu menuju ruangan Juna.
"Bang Juna," panggil Fadli sambil membuka pintu setelah sebelumnya mengetuknya lebih dulu.
"Ya? Kenapa, Fad?"
"Itu... Mbak Diana sudah datang, Bang," lapor Fadli.
"Oh, ya sudah langsung suruh masuk aja," ujarnya.
"Anu... Mbak Diana malah duduk di luar, Bang. Tadi saya udah bilang ditunggu Bang Juna di ruangannya. Pas saya mau antar ke sini, Mbak Diana malah pesan minum terus minta diantar ke meja di luar. Nih uangnya, Bang," adu Fadli sambil menunjukkan selembar uang yang Diana berikan.
"Jadi sekarang Diana di luar?" tanya Juna memastikan dan Fadli mengangguk.
Juna berdecak pelan sebelum kemudian bangun dari kursi kerjanya. Benar-benar memang Diana ini. Dikasih tempat yang enak di ruangan Juna yang AC-nya lebih berasa, eh dia malah pilih di luar panas-panasan.
"Ya sudah kamu buatkan saja pesanannya. Thanks ya, Fad"
Fadli mengangguk kemudian menuju dapur untuk memberitahu Haikal pesanan Diana. Sementara itu Juna melangkahkan kakinya menuju tempat Diana duduk.
"Diana, kenapa kamu gak ke ruangan saya?" tanya Juna langsung sambil menarik kursi di hadapan Diana.
Diana melirik Juna sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya, "Gak ah, nanti kalau saya diapa-apain kamu gimana?" jawabnya membuat Juna mengelus dada pelan.
"Astaghfirullah, kamu pikir saya cowok macam apa?"
Diana mengangkat kedua bahunya bersamaan, "Entah," jawabnya santai. Ya kan Diana memang tidak tahu Juna lelaki seperti apa. Toh, mereka juga belum lama mengenal. Jadi gak salah dong kalau memang Diana gak tahu?
Juna menghela napas pelan sebelum kemudian bangkit berdiri lagi. "Saya ambil laptop dulu sebentar," ujarnya. "Nyusahin aja sih," gumam Juna sambil lalu yang masih tertangkap oleh telinga Diana.
Diana tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Ngedumel aja kayak emak-emak, batinnya. Sebenarnya Diana rada gak enak juga sih sama Juna karena harus mengikuti keinginannya. Tapi ya gimana dong kalau cuma berdua doang di dalam ruangan sama Juna, Diana gak kebayang canggungnya kayak apa.
Juna kemudian kembali dengan membawa laptop juga minuman yang Diana pesan tadi. Tak lupa ia pun memberikan kembali uang yang Diana berikan ke Fadli tadi. "Lain kali kalau kamu ke sini gak usah bayar. Gak usah merasa gak enak, anggap saja sebagai uang makan dari saya," ujar Juna.
Diana menatap uang yang Juna letakan di meja sebelum kemudian mengambilnya dan memasukannya kembali ke dalam sakunya. "Berarti saya bisa pesan makanan juga ya? Take away boleh juga?" tanyanya membuat Juna menatapnya takjub.
Sumpah! Juna pikir Diana bakal merasa sungkan padanya, eh ternyata lagi-lagi Juna salah menilai Diana. "Diana, kamu gak punya rasa gak enakan gitu ya?" tuduh Juna.
Diana menyeringai lalu menyesap coffee float-nya dan meletakannya kembali di meja. "Terlalu gak enakan sama orang lain adalah kunci untuk orang lain jadi seenaknya sama diri kita. Lagian kan saya gak minta, kamu sendiri yang menawarkan. Ya apa salahnya kalau saya memanfaatkan fasilitas?"
"Ya udah terserah apa katamu," jawab Juna tak acuh atau lebih tepatnya tak ingin memperpanjang perdebatan dengan Diana. Ia kemudian memperlihatkan layar laptopnya pada Diana "Ini bahan presentasi yang sudah saya perbaiki. Gimana?"
Diana menilik slide demi slide presentasi yang Juna tunjukan. "Oke," ucapnya.
"Kalau─"
Kata-kata Juna terhenti karena ponsel Diana berdering. Gadis itu pun mengambil ponselnya dari atas meja lalu menjawab panggilan telepon yang masuk. Sementara Juna kembali mengambil alih laptopnya sambil sesekali matanya melirik Diana yang sedang terlibat percakapan dengan seseorang di telepon.
"Iya, Ted, gue inget kok. Besok jam tiga kan?"
Ted? Tedy? Teduh? Buted? Banted? Juna jadi menerka-nerka sendiri siapa sosok yang tengah bicara dengan Diana. Tapi entah kenapa Juna punya feeling kalau itu adalah lelaki. Feeling yang lebih ke suudzon sih kayaknya.
"Udah balik kok gue jam segitu. Iya, gue datang, Ted. Oke, gue tutup dulu ya."
Begitu panggilan diakhiri, Diana kembali menatap Juna. "Ehm, kamu cuma mau bahas bahan presentasi aja kan ya? Kalau gitu saya pulang dulu ya," pamit Diana seraya menyimpan ponselnya ke dalam tas.
"Besok kamu ikut saya ya jam empat sore," ucap Juna membuat gerakan Diana yang hendak menyampirkan tasnya ke bahu pun terhenti.
"Besok? Ada keperluan apa?"
"Saya ada tapping talk show di New TV."
"Ya kan itu talk show, bukan seminar. Buat apa juga saya ikut?" protes Diana. Lagipula Diana kan udah ada janji sama temannya untuk menghadiri pesta ulang tahun anaknya. Ya walau sebenarnya Diana agak malas juga sih menghadiri pesta ulang tahun bocah umur empat tahun yang diselenggarakan besar-besaran di sebuah hotel, tapi mau bagaimana lagi? Tedeora yang merupakan ibu dari anak yang berulang tahun itu adalah teman dekat Diana sewaktu SMA jadi berat bagi Diana untuk menolak undangannya.
"Ya kan kamu asisten saya. Mana tahu saya butuh bantuan kamu di sana."
Bantuan apanya? Memangnya dia bakal tampilin power point di sana? Kan enggak. Begini nih akibatnya kalau dari awal tidak ada penjelasan tugas pekerjaan yang jelas, gerutu Diana dalam hati.
"Gak bisa. Saya ada acara di hotel jam tiga, jadi─"
"Gak masalah. Jam tiga saya antar kamu terus setelahnya kamu ikut saya, gampang kan?" Belum juga Diana selesai menyuarakan penolakannya, Juna sudah memotongnya.
Diana menghela napas pasrah. Ditatapnya Juna dengan netra tajamnya. Diana mulai menyesali keputusannya menyambut tantangan pria di hadapannya ini sebab sekarang Diana bisa merasakan bahwa ia telah terperangkap dan akan sulit baginya untuk bisa lepas dari Juna.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVERSITY [DaMay Sister's Story]
Romance[Complete] Seumur hidup Juna, baru pertama kalinya dia lihat cewek makan roti sama kertas-kertasnya. Dan seumur hidup Diana, baru pertama kali dia bertemu cowok yang komentarin cara duduknya. Sikap mereka saling bertolak belakang, namun seperti haln...