24. Ayo! (Ending)

16.6K 1.7K 33
                                    

Dugaan Diana rupanya benar. Customer yang meninggal setelah meminum ice green cappuccino rupanya memang memiliki alergi berat terhadap susu kacang. Temannya yang datang bersamanya mengakui kalau mereka tidak membaca ingredient singkat yang tertulis di menu. Korban mengira kalau 'green' yang dimaksud dalam ice green cappucino itu adalah green tea dan tidak ada campuran bahan susu kacang di dalamnya. Dengan begitu Haikal serta coffee shop Juna terbebas dari tuntutan.

"Mbak Diana saya berterima kasih banget ya sama Mbak. Kalau Mbak gak curiga soal alergi, gak tahu gimana nasib saya sekarang." Haikal menyalami Diana seraya membungkuk sopan untuk mengucapkan rasa terima kasihnya pada Diana.

"Iya, Haikal, alhamdulillah sekarang semua sudah selesai. Ngomong-ngomong, gak usah panggil Mbak lah. Kamu kan seumuran sama Juna yang berarti lebih tua dari saya."

"Disuruh Juna begitu, Mbak, katanya gak boleh sok akrab sama Mbak. Saya gak berani melawan sama bos," sahut Haikal.

Diana melirik sinis ke arah Juna yang berpura-pura menikmati milkshake-nya. Dasar! hardik Diana dalam hati.

"Jun, gue izin cuti ya dua hari mah. Jantung gue kayaknya butuh istirahat setelah kejadian ini," pinta Haikal.

Tanpa berpikir lagi Juna mengangguk mengiyakan. "Gak usah cuti, coffee shop kita liburin aja dulu selama tiga hari sebelum beroperasi normal kembali. Razi, Fadli kalian juga perlu liburan," ujarnya.

"Mantap! Thank you, Bos!"

Diana bisa memaklumi tindakan Juna. Berhari-hari waktu mereka tersita karena insiden ini pasti sangat menguras pikiran dan tenaga mereka. Untuk itu rehat sejenak memang benar-benar diperlukan.

"Na, besok kan sekolah libur, kamu ada acara lain?" tanya Juna setengah berbisik pada Diana karena enggan mengganggu teman-temannya yang tengah merencanakan kegiatan liburan mereka.

"Enggak, kenapa?" tanya Diana balik.

"Bisa ikut aku?"

"Ada seminar? Kenapa baru bilang?" Biasanya Juna sudah mengatakan dari jauh-jauh hari jika memang ia mengisi seminar sebab biasanya juga kan Diana yang mengedit materi presentasinya.

"Bukan, mau survey tempat."

"Tempat apa?"

"Lihat besok aja. Jam sembilan aku jemput ya?"

Meski masih penasaran, Diana akhirnya mengangguk. Ya, Diana harus bersabar sampai tiba hari esok datang untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya itu.

***

Rasa penasaran Diana akhirnya terjawab. Juna mengajaknya untuk melihat sebuah bangunan rumah dua tingkat dengan pekarangan yang cukup asri di bagian depannya. Dan bagian yang paling mengesankan dari bangunan rumah itu adalah di bagian atas rooftop disediakan bangku juga meja untuk menikmati pemandangan sekitar serta teropong yang bisa digunakan untuk menerawang benda langit.

"Rumahmu, Jun?" tanya Diana sambil mencoba duduk di kursi rooftop. Tanpa teropong saja dari atas sini sudah cukup untuk melihat pemandangan langit di siang hari yang cerah.

Juna mengangguk mengiyakan. "Hasil tabungan dari honor isi seminar juga profit coffee shop. Oh iya, Na, ini honor untuk kamu jadi partnerku selama ini."

Juna mengulurkan sebuah amplop dari tangannya ke hadapan Diana.

"Kenapa gak ditranfer aja?" tanya Diana sebelum mengambil amplop itu dari tangan Juna.

Saat jemari Diana merasakan tekstur di dalam amplop itu yang tidak terasa seperti uang tunai, Diana menatap Juna curiga. "Ini apa, Jun?" tanyanya namun Juna tak menjawab. Pria itu hanya memberi isyarat pada Diana untuk membuka isi amplopnya.

Betapa terkejutnya Diana saat mendapati bahwa isi di dalam amplop itu adalah sebuah logam mulia batangan senilai 25 gram juga sebuah cincin yang sama-sama terbuat dari logam mulia. Diana benar-benar terperangah menatap dua benda itu di tangannya.

"Juna, ini berlebihan," ujar Diana setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.

Juna tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Nope."

Melihat respon Juna, Diana mendesah pelan. "Jun, aku gak tahu apa memang kinerjaku sebagus itu di mata kamu atau mungkin memang kamu yang terlalu royal, tapi serius deh ini berlebihan, Juna."

Mendengar protes Diana, Juna semakin melebarkan senyumnya. Ia mengambil cincin di tangan Diana dan berlutut di hadapan Diana.

"Na, maukah kamu menjadi partnerhku untuk seterusnya? Bukan cuma partner kerja, tapi juga partner hidup yang bersama-sama melewati suka maupun duka."

Sudah dibuat kaget dengan pemberian Juna, kali ini ditambah lagi dengan kata-kata Juna. Diana mengerjap tak percaya dengan apa yang baru saja masuk ke dalam indera pendengarannya. Juna... melamarnya?

Meski Diana tak bisa memungkiri kalau ia juga terpikat pada sosok Juna, tapi tidakkah perbedaan selera di antara mereka begitu terasa?

Diana suka kopi, Juna suka susu.

Diana suka sunrise, Juna suka sunset.

Diana suka bintang, Juna suka bulan.

"Kamu sadar gak sih kalau gak ada satupun kesukaan kita yang sama, Jun. Gimana mungkin kita mau bersama?" tanya Diana ragu.

"Ada kok, Na, yang sama-sama kita sukai. Aku suka kamu, kamu juga suka aku, ya kan?"

"Ngawur!" hardik Diana langsung walau sebenarnya yang Juna katakan memang benar.

Melihat kekhawatiran di wajah Diana atas banyaknya perbedaan di antara mereka terutama perihal selera juga kebiasaan, Juna tersenyum dan menggamit telapak tangan Diana. "Na, kita gak harus punya banyak kesamaan untuk bisa hidup bersama. Aku mau ajak kamu menikah bukan sekolah, jadi kita gak harus pakai seragam yang sama. Perbedaan itu bukan masalah selama kita bisa saling menerima satu sama lain."

Kata-kata Juna membuat hati Diana tersentuh namun gadis itu belum yakin. Hatinya masih ragu, bukan pada Juna tapi pada dirinya sendiri. Diana merasa ia sangat jauh dari sosok seorang istri idaman. Bagaimana jika kelak Juna menyesal menikah dengan dirinya?

"Tapi, Jun... aku gak bisa masak," aku Diana.

Juna tertawa mendengarnya. "Kita bisa makan di luar, atau delivery order," jawabnya. Gak bisa masak adalah hal yang lumrah terjadi pada wanita zaman sekarang dan Juna gak kaget lagi. Lagipula Juna pikir 'memasak' bukanlah tugas utama seorang istri sebab istri adalah pelengkap iman bukan penyaji hidangan.

"Aku gak bisa nyuci."

"Laundry aja."

"Aku juga gak terampil beres-beres rumah," aku Diana lagi.

"Oh, bagus! Kita buka loker untuk ART nanti," sahut Juna lagi.

Ish, ini orang! batin Diana dalam hati karena Juna selalu mampu menjawab kata-katanya.

"Na, dengar ya, aku menyukaimu dan menerimamu dengan segala lebih maupun kurangmu. Setiap hal yang kamu gak bisa lakukan, bisa kita cari sama-sama solusinya. Tapi jika yang kamu tak bisa lakukan itu adalah mencintaiku, maka aku mundur. Aku gak akan paksa kamu."

Diana menatap manik mata Juna yang menyuratkan kesungguhan dalam kata-katanya. Ah, memang kapan Juna tidak serius dengan Diana? Sejak awal Juna tidak pernah main-main dengan perasaannya terhadap Diana. Meski Diana menghindarinya, Juna tak pernah menjauhinya. Meski Diana mengabaikannya, Juna tak pernah melepaskannya. Meski Diana mengatakan hal yang kasar kepadanya, Juna tetap bersikap lembut terhadapnya.

Kini akhirnya hati Diana luluh oleh kuatnya tekad Juna. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dalam satu entakkan, Diana akhirnya mengambil keputusan. "Oke, ayo ketemu Ayah."

END
16 September 2020

DIVERSITY [DaMay Sister's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang