"Eh? Ya ampun, Mbak, pelan-pelan." Diana memberikan protes saat Inge merangkul lengannya dari belakang lalu menariknya hingga mau tak mau Diana ikut mempercepat langkah kakinya.
"Panas, Na," sahut Inge singkat.
Iya, Diana tahu. Diana juga merasakan kepanasan setelah berjemur untuk upacara tapi ya gak seburu-buru ini juga dong jalannya.
Setelah tiba di ruang BK, Inge dan Diana sama-sama merebahkan tubuh mereka di atas sofa. Diana melepaskan kunciran rambutnya dan menyisir acak rambutnya dengan jemari tangan agar keringat di kepalanya hilang.
"Kemarin gimana, Na?" Inge mulai membuka obrolan.
Diana menolehkan kepalanya menatap Inge. "Gimana apanya, Mbak? Kemarin aku di rumah Ayah," jawabnya.
Inge berdecak pelan seraya menegakkan posisi duduknya. "Ya bukan benar-benar kemarin juga, Na. Itu mah Mbak juga udah tahu tiap weekend kamu balik ke rumah orang tua kamu. Maksud Mbak tuh pas kamu ikut sama cowok dari tempat seminar itu."
"Ooh." Diana kembali memalingkan wajahnya. "Gak gimana-gimana. Dia cuma bawa aku ke coffee shop dan kasih lihat aku materi seminarnya," terang Diana.
"Masa sih gitu aja?" tanya Inge seolah penjelasan Diana terdengar kurang memuaskan di telinganya.
Kepala Diana mengangguk setelah sebelumnya ia mempertimbangkan dalam hatinya haruskah ia memberitahu Inge soal dirinya yang menjadi asisten Juna? Namun pada akhirnya Diana memutuskan untuk menyimpannya sendiri saja. Diana pikir gak ada gunanya juga kalau orang lain mengetahuinya.
"Lucu juga ya, bisa-bisanya kita gak mengenali dia waktu fotonya ditampilkan pas rapat. Efek pakai jas sama tatanan gaya rambut bisa bikin pangling ternyata," ujar Inge. Pantas saja Inge merasa tidak asing ketika melihat foto Juna ternyata memang karena mereka pernah bertemu sebelumnya. Hanya saja Inge waktu itu tak bisa menyadari kalau mereka adalah orang yang sama.
Diana tersenyum kecut. Kalau saja waktu rapat sebelumnya Diana memperhatikan ketika foto Juna ditampilkan, mungkin saat itu juga Diana bisa mencari-cari alasan untuk mengundurkan diri dari seksi acara. Menghela napas pelan, Diana mencoba untuk tidak mengeluh. Sesuatu yang sudah terlanjur terjadi gak akan berubah kalau hanya disesali. Jadi lebih baik dijalani saja.
"Tapi, Na, benar kamu cuma diajak ke coffee shop buat bahas materi?" tanya Inge tiba-tiba membuat Diana sedikit tersentak mendengarnya.
"I-iya, memang gitu aja. Lagian Mbak pikir mau gimana lagi?" tanya Diana balik.
Inge mengangkat kedua bahunya bersamaan, "Hmm... Mbak pikir dia bakal usaha buat pendekatan sama kamu gitu, ngajak jalan, nawarin kerja sama, atau apa aja gitu secara kalau Mbak lihat kayaknya sih dia tertarik sama kamu, Na." Inge menyuarakan dugaannya terang-terangan di depan Diana. Gadis itu kemudian memiringkan posisi tubuhnya menghadap Diana. "Yakin kamu, Na, dia gak ada mengarah ke situ?" tanyanya.
Diana tertawa meski dalam hatinya ia sangat terkejut mendengar presumsi Inge yang benar-benar persis terjadi. Gila! Jangan-jangan selama ini Mbak Inge diam-diam bisa meramal, gumamnya dalam hati.
"Yakin, Mbak. Gak mungkin juga lah lagian hahaha," sangkalnya yang kemudian bangkit berdiri lalu menguncir rambutnya kembali. "Aku ke ruang guru dulu ya mau nyiapin materi buat ngajar nanti," lanjutnya sambil berjalan ke arah pintu keluar ruang BK. Sebelum dirinya nanti malah jadi keceplosan di depan Inge, sebaiknya Diana kabur saja.
"Oke, see you!" sahut Inge seraya melambaikan tangannya.
Setelah sosok Diana menghilang dari balik pintu, Inge tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Diana... Diana... gitu tuh kalau gak bakat bohong. Habis ngomong langsung kabur," gumamnya di sela-sela tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVERSITY [DaMay Sister's Story]
Romance[Complete] Seumur hidup Juna, baru pertama kalinya dia lihat cewek makan roti sama kertas-kertasnya. Dan seumur hidup Diana, baru pertama kali dia bertemu cowok yang komentarin cara duduknya. Sikap mereka saling bertolak belakang, namun seperti haln...