"Gimana menurut kamu?"
"Hm? Biasa aja," jawab Diana dengan ekspresi sedatar mungkin padahal detak jantungnya sedang naik-turun tak karuan saat ini.
Juna tersenyum kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Diana. Membuat gadis itu menatapnya bingung. "Apaan nih?" tanya Diana.
"Ayo! Shooting-nya sudah mau dimulai."
Diana masih bergeming menatap telapak tangan Juna di depan wajahnya. Melihat Diana yang tak kunjung meresponnya, Juna pun berinisiatif menggenggam tangan Diana dan membawanya mengikuti langkahnya.
"Tunggu─"
"Marah-marahnya nanti aja," potong Juna membuat Diana kembali membungkam mulutnya lagi. Sial, sejak kapan Diana jadi menurut pada kata-kata pria itu?
Diana duduk di kursi penonton sementara Juna duduk di stage bersama host. Mereka tengah briefing singkat sebelum mulai siaran. Begitu semua ready, acara pun dibuka dengan musik yang dilantunkan oleh home band dan dilanjut dengan salam pembuka dari pembawa acara.
Diana memperhatikan bagaimana Juna berinteraksi dan menjawab pertanyaan dari pembawa acara. Kepalanya sekarang dipenuhi dengan kata-kata Damar tentang Juna. Skill public speaking yang bagus, pribadi yang humoris, juga perilaku sopan yang semula Diana ragukan saat Damar mengatakannya, kini Diana dapat melihatnya secara langsung dalam diri Juna.
Tunggu... sejak kapan pria itu jadi punya sisi positif di mata Diana? Diana pun bergidik dan menggelengkan kepalanya tanpa sadar, membuat penonton lain yang duduk di sampingnya menoleh.
"Kenapa, Mbak?"
"Eh?" Diana tersenyum malu dan menggeleng. "Enggak, dingin aja hehehe," kilahnya. Iya, tubuh Diana memang merasakan dinginnya studio tapi tidak dengan kepalanya yang terasa panas karena terus memperhatikan gerak-gerik Juna. Ya Tuhan, kenapa otak Diana jadi mengalami korsleting gini sih?
***
Selesai shooting, Juna mengajak Diana untuk mengisi perut terlebih dulu sebelum pulang. Tak perlu jauh-jauh, Juna membawa Diana makan di kedai aneka makanan pinggir jalan yang masih berada di sekitar area stasiun TV.
"Gak masalah kan makan di sini?" tanya Juna memastikan dan Diana mengangguk mengiyakan.
"Kamu mau makan apa?" tanya Juna selagi dirinya juga melihat daftar menu pada selembar kertas berlaminating.
"Mau nasi goreng sama es cappucino."
Juna mengangguk lalu menuliskan pesanan Diana pada selembar kertas yang telah disediakan. "Suka banget kopi?" tanyanya ketika menyadari selama ini Diana selalu meminum aneka olahan kopi.
"Lumayan," jawab Diana.
Setelah Juna selesai menuliskan pesanan mereka dan memberikan kertasnya pada sang penjual, baik Juna maupun Diana sama-sama terdiam. Situasi ini membuat mereka tiba-tiba saja merasa canggung, terutama Diana.
"Ehm, kamu sering diundang ke acara TV gitu?" tanya Diana memecah keheningan di antara mereka.
Juna sedikit terkejut karena kalau otaknya tidak salah mengingat ini adalah pertama kalinya Diana tertarik untuk bertanya mengenai kegiatannya.
"Nggak. Kenapa?"
"Gak apa-apa. Kelihatan luwes aja gitu di depan kamera."
Juna tersenyum. Disatukannya kedua telapak tangannya untuk menopang kepalanya yang membesar karena pujian Diana. "Jadi enak diperhatiin."
"Dih!" Diana memutar bola matanya jengah. "Saya nonton keseluruhan acara, bukan cuma kamu doang. Host-nya juga pintar gali pertanyaan dari jawaban. Jadi, kamu gak usah over proud," protesnya yang tetap saja tidak melunturkan senyum di bibir Juna.
"Kalau memang kamu nonton keseluruhan acara, tadi kamu merasa gak sih kalau di tempat saya duduk tuh pencahayaannya lebih terang jadi agak silau gitu?"
Diana nampak berusaha mengingat proses syuting tadi, tapi jujur saja Diana tidak menyadari apa yang Juna katakan. "Masa iya sih?" tanyanya ragu dan Juna mengangguk yakin. Diana kembali mencoba mengingat tapi seingatnya tidak ada kejadian seperti yang Juna katakan. Ketika home band bernyanyi memang ada sorot lampu yang mengarah ke mereka, tapi selebihnya biasa saja tuh. Atau mungkin memang Diana yang tidak menyadarinya?
Ah, terserahlah, Diana pun memilih untuk mempercayai kata-kata Juna. "Terus memang kenapa? Mungkin memang sengaja lighting di area bintang tamu tuh dilebihkan."
Kali ini Juna menggeleng. "Bukan karena lighting kok, itu kilau pesona saya yang memancar. Tuh, kan, kamu aja sampai terhipnotis," ungkapnya penuh percaya diri.
Diana menjulurkan lidahnya seolah ingin muntah. Menyesal dia sudah percaya begitu saja pada lelaki di hadapannya ini. Tapi... melihat tawa lepas lelaki di hadapannya yang mentertawakan leluconnya sendiri kenapa membuat debar jantung Diana meningkat ya? Apa efek pakai setelan jas bisa mengubah image seseorang sampai segininya?
"Ini pesanannya, silakan dinikmati."
Untung saja pesanan nasi goreng Diana datang di saat yang tepat. Setidaknya sekarang Diana bisa mengalihkan fokusnya ke makanan alih-alih ke wajah Juna.
Diana terdiam sesaat ketika melihat penampakan piring nasi goreng di hadapannya. Menghela napas sejenak, Diana mulai menyingkirkan bawang goreng yang bertabur di atas nasinya. Diana gak doyan bawang goreng dan tadi ia lupa untuk mengatakan pada sang penjual agar tidak menaburkan bawang goreng di atas makanannya.
Gerakan sendok dan garpu yang tengah Diana pegang terhenti saat Diana melihat ada semangkuk soto ayam yang mendekati piring nasi gorengnya. Diana pun mendongakkan kepalanya menatap si pemilik mangkuk itu.
"Kamu gak suka kan? Taruh di mangkuk saya aja," ujar Juna seolah bisa membaca bahwa Diana akan menanyakan apa maksud dari tindakannya itu.
Meski merasa agak sungkan, Diana pun memindahkan taburan bawang goreng yang telah ia kumpulkan di sendoknya ke atas mangkuk soto ayam Juna. "Kamu suka?" tanya Diana sambil mengumpulkan kembali sisa-sisa taburan bawang goreng di sekitar makanannya.
"Sama?"
Diana melirik Juna sekilas. Ck, ini cowok! "Ya sama bawang goreng lah," sahutnya.
"Ooh. Lumayan, kayak lebih sedap aja gitu makanan kalau ditaburi bawang goreng. Kamu sendiri? Segitu gak sukanya sama bawang?"
Diana mendorong pelan mangkuk Juna ke hadapan pemiliknya karena ia telah selesai membersihkan nasi gorengnya dari taburan bawang goreng. "Bawang sih suka-suka aja kalau dijadikan bumbu masakan, tapi kalau digoreng dan ditabur di atas makanan gini kurang doyan aja gitu."
Juna menganggukkan kepalanya. Selera mereka berbeda jauh ternyata. "Selain bawang goreng, apa ada lagi yang kamu gak suka?" tanyanya.
Diana berpikir sambil mulai menyendok nasi gorengnya, "Gak ada kayaknya, saya gak terlalu pemilih," ucapnya sebelum memasukan satu suap nasi goreng itu ke mulutnya.
"Berarti sama saya ada kemungkinan bisa suka dong?"
Diana menahan kunyahan giginya seketika begitu mendengar pertanyaan Juna. Asli! Ini orang niat banget bikin gue keselek apa?! hardiknya dalam hati. Diana menatap Juna selagi mulutnya kembali mengunyah makanannya.
"Kayaknya kamu sehari gak gombal tuh sariawan ya?" tanya Diana dengan sinis setelah menelan makanannya. Kalau Diana pikir lagi, di setiap pertemuan mereka setelah saling mengenal satu sama lain pasti ada aja rayuan yang Juna keluarkan dari mulutnya. "Kuping saya gatal dengarnya," lanjut Diana lagi yang memperjelas kalau ia sama sekali tak terpikat mulut manis Juna.
Juna tersenyum tipis. Iya, lelaki satu itu benar-benar selalu tersenyum mendengar penolakan Diana. "Kamu sendiri, kalau sehari aja ngomongnya gak pakai sewot kayaknya bibir kamu pecah-pecah ya, Na?" tanya Juna balik.
"Na?" bukannya menghiraukan pertanyaan Juna, Diana justru malah terfokus dengan panggilan lelaki itu terhadapnya.
"Ya nama kamu kan Diana, masa gak boleh kalau saya panggil 'Na'?"
Ya memang benar sih apa yang dikatakan Juna. Hanya saja Diana merasa aneh nama panggilannya diucapkan oleh seseorang yang tidak dekat dengannya. Ah, Diana lupa, Juna kan memang sedang berusaha untuk mendekatinya.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVERSITY [DaMay Sister's Story]
Romance[Complete] Seumur hidup Juna, baru pertama kalinya dia lihat cewek makan roti sama kertas-kertasnya. Dan seumur hidup Diana, baru pertama kali dia bertemu cowok yang komentarin cara duduknya. Sikap mereka saling bertolak belakang, namun seperti haln...