"Permisi, Bu Inge!"
Mendengar namanya dipanggil, Inge yang tengah mengedit bahan presentasinya pun langsung menengok keluar.
"Iy─ah kamu, Na! Mbak kira siapa. Masuk sini."
Diana tersenyum lebar seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang bimbingan konseling yang entah kenapa AC nya selalu terasa lebih dingin dibanding di ruang guru bahkan sekali pun pintunya dibuka.
"Numpang istirahat ya, Mbak," ujar Diana seraya menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Inge mengangguk tanpa menoleh pada Diana. "Gak usah sok izin deh. Biasanya juga emang tiduran di sini."
Diana terkekeh kemudian melepas sepatunya dan meluruskan kakinya di sofa. "Kalau gak ada Mbak baru langsung tidur, kalau ada Mbak izin dulu lah biar kayak sopan aja gitu," sahutnya santai.
"Ngomong-ngomong capek banget deh aku hari ini, Mbak," adunya kemudian pada Inge. Inge adalah guru bimbingan konseling. Karena itu Diana kadang suka aji mumpung untuk curhat hal-hal kecil ke Inge. Bahkan dibanding dengan murid-murid di sekolah ini, Diana lah yang paling sering keluar masuk ruang BK.
SMA Gemilang tempat Diana mengajar ini adalah sekolah swasta yang belum begitu lama berdiri. Tapi meskipun baru, dari segi kualitas fasilitas dan tenaga pengajar bisa diadu. Murid-murid disini memang tidak terlalu banyak, dalam satu kelas paling banyak hanya 20─25 orang dan memang sengaja dibatasi jumlahnya oleh sekolah untuk menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar yang kondusif. Guru-guru di SMA ini juga rata-rata masih muda, sekitaran usia akhir 20-an sampai pertengahan 40. Di antara semua guru muda itu, yang paling dekat dengan Diana adalah Inge. Selain karena jarak usia mereka yang hanya berbeda dua tahun, keduanya juga sama-sama belum menikah dan kerap kali jadi bahan modusan para murid.
Inge yang mendengar keluhan Diana soal kelelahannya hari ini pun membalikkan kursinya menghadap rekan seprofesinya itu. "Capek kenapa, Na? Eh iya, tadi kayaknya Mbak denger teriakan kamu deh. Teriakin siapa sih?"
Diana kemudian mengambil bantal sofa utuk menyanggah punggung dan kepalanya agar ia bisa tiduran lebih nyaman. "Biasa, Mbak, anak-anak. Disuruh sablon kaus malah catnya dimainin buat dicolekin ke badan temannya. Ntar kalau kena seragamnya gimana coba? Nanti pas lulus mau coret-coretan pakai apa mereka kalau seragamnya udah dicoret duluan?"
Inge tertawa mendengarnya. "Zaman sekarang memangnya masih ada coret-coretan apa, Na? Kayaknya udah gak diperbolehkan deh," ujarnya seraya kembali berkutat pada bahan presentasinya.
"Masa sih gak boleh? Yah, kurang greget dong."
"Setahu Mbak sih gitu. Meminimalisir kerusuhan di jalan atau kemungkinan tawuran antar sekolah."
Diana tertawa mendengarnya. "Sekolah kita mau tawuran sama siapa juga ya, Mbak? Bocahnya juga pada banyak ngomong di kelas doang, pas jam pulang mah langsung pada kabur balik gak nongkrong-nongkrong lagi."
Inge mengangguk setuju. "Eh, tapi kan ada coffee shop baru buka di pertigaan jalan, Na. Kayaknya bakal jadi tempat nongkrong tuh."
"Bisa jadi sih, Mbak. Oh iya Mbak udah pernah ke sana?"
"Udah. Lumayan tempatnya enak. Terus juga..."
Diana menyipitkan matanya menunggu kelanjutan kata-kata Inge. "Terus juga apa, Mbak?"
Inge menoleh ke arah Diana. "Pekerjanya ganteng-ganteng!" serunya sumringah dengan kedua telapak tangan ia tempelkan ke pipinya.
Diana mencibir mendengarnya. "Inget calon suami kali," ledeknya. Iya, meskipun sama-sama belum menikah tapi Inge sudah memiliki calon suami. Gak kayak Diana yang masih betah dengan kesendiriannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVERSITY [DaMay Sister's Story]
Romansa[Complete] Seumur hidup Juna, baru pertama kalinya dia lihat cewek makan roti sama kertas-kertasnya. Dan seumur hidup Diana, baru pertama kali dia bertemu cowok yang komentarin cara duduknya. Sikap mereka saling bertolak belakang, namun seperti haln...