22. Trauma

1.6K 127 49
                                    

"Max saat ini mengalami trauma dan trauma itu membuat kondisi jantung Max yang memang buruk menjadi semakin memburuk. Itulah sebabnya Max pingsan tadi." Jelas Bryan.

"Trauma. Trauma karena apa?" Tanya Lucky dengan pandangan yang tetap setia menatap lantai. Entah karena apa otaknya tidak bisa berpikir dengan baik saat ini.

Bryan menghembuskan nafasnya kasar.

"Kau kenapa? Pimpinan perusahaan besar sepertimu tidak mungkin tidak mengerti kan?"

Lucky mendongak. Ia menatap kedua mata temannya itu lalu kembali menunduk.

"Hhhh..Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Tapi aku tahu  kau tidak mungkin bertindak seperti itu tanpa alasan yang kuat. Aku berteman denganmu bukan baru setahun dua tahun tapi sudah puluhan tahun tepatnya sejak kita masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Jika kau ada masalah ceritakan padaku. Kau bilang kau sudah menganggapku seperti kakakmu sendiri kan. Jadi ceritakanlah padaku. Jangan hanya dipendam apalagi kau lampiaskan pada Max. Berhentilah menyakitinya, anak itu sudah terlalu rapuh untuk kau sakiti."

Lucky terdiam lalu tak lama ia terkekeh.

"Sejak kapan kau jadi psikolog?"

Bryan yang kesal lalu mendorong kepala Lucky dengan telunjuknya.

"Aww! Yak! Apa yang kau lakukan?!" Teriak Lucky.

"Aku berbicara disini bukan sebagai dokter tapi sebagai teman dan seorang kakak untukmu dan aku tidak sedang bercanda Lucky." Bryan menatap kedua mata Lucky lekat tapi Lucky memalingkan wajahnya. Ia menghindari tatapan dari Bryan.

"Kenapa menghindar? Hhhh..Jika disini ada Rizky. Ia pasti sudah bisa membuatmu bicara."

BRAKK!

Lucky menggebrak meja dan berdiri dari duduknya.

"Jangan pernah sebut namanya lagi! Aku tidak suka!" Marah Lucky.

"Hhh..Kenapa memangnya? Kita berempat itu sudah berteman sejak di bangku sekolah,di sekolah kita bahkan sering disebut empat sekawan,bahkan F4. Aku merasa seperti selebrity saat itu. Most wanted.hahhaha."

Lucky memutar bola matanya malas. Ia mendengus kesal ia sama sekali tak tertarik dengan ocehan Bryan.

"Inget Ky,gue,lo,Irfan dan Rizky itu temenan dan lo gak bisa ngelak dari itu semua. Mau lo bilang gak kenal kek,mau apa kek. Selamanya itu kita temenan."

Lucky menatap tajam Bryan.

"Apa? Kenapa mata lo? Pengen gue colok mata lo? Lo pasti mau bilang kan, jangan pake bahasa gue lo gitu,iya kan? Bomatlah gue lagi gak pengen pake bahasa formal. Lagi pula disini cuma ada kita berdua doang."

Lucky mencebik dan memalingkan wajahnya kearah jendela.

"Gue disini lo Ky bukan disitu. Liatnya sini dong. Semua cewek tuh demen tau ngeliat muka ganteng gue. Jadi lebih baik lo ngeliatin gue dibanding ngeliatin jendela." Ucap Bryan sambil menaik turunkan alisnya.

"Najis!" Umpat Lucky.

"Wowww senengnya. Lucky bisa ngomong jelek juga!!" Sorak Bryan.

Lucky menatap ngeri orang didepannya ini. Ia jadi lupa jika orang didepannya ini adalah dokter teladan yang selalu jadi panutan dokter-dokter lain.

"Hhh..Oke. Kembali ke topik. Gue mau ngomong serius sama lo sekarang dan lo cukup diem jangan motong omongan gue. Cukup nyimak apa yang gue omongin.Oke. Kalo lo gak diem,gue pastiin jarum suntik ini melayang kearah lo."

Lucky bergidik ngeri. Bryan akan bertingkah seenaknya jika ia mau dan Lucky cukup tahu itu.

"Hhh.. Ini soal Max. Apapun yang terjadi Max itu anak kandung Rizky dan Rizky itu temen kita. Kita udah janji kan, buat akur terus walaupun ada masalah,kita harus selesaiin semuanya baik-baik. Lo dan Rizky itu sama-sama salah disini. Lo mau bantu Rizky tapi minta imbalan Max sebagai gantinya dan Rizky mau Max dapet pertolongan tapi caranya salah dengan nukerin Max sama harta dari lo. Sebenernya kalo boleh jujur gue pengen banget nyeburin lo berdua ke sungai nil karena otak lo berdua dangkal banget, tapi nasi udah jadi bubur,kita gak bisa ngubah masa lalu tapi kita bisa berusaha untuk ngubah masa depan jadi lebih baik kan? Meski semuanya udah Allah atur."

TRIPLETS??? (TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang