Gantungan Kunci Berbentuk Es Krim

283 41 4
                                    


SKANDAR

Pagi ini aku berangkat ke Cambridge dengan sahabatku Theo. Aku dan Theo berbeda universitas. Theo menelfonku, mengatakan bahwa ia lupa membawa mantel dan memaksaku untuk meminjam mantel yang selalu kusediakan di lokerku. 

Saat aku kembali, sahabatku itu tengah menggoda seorang gadis. Aku tahu betul watak Theo. Ia kerap kali menggoda para gadis untuk mendapat perhatian mereka. Theo berlari kearahku sambil tertawa terbahak-bahak.

"Hey, mengapa? Apakah gadis itu membuatmu gila?" tanyaku. Theo mengangguk sambil terus tertawa. "Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Kau pasti akan tertawa jika melihat gadis itu tadi." ucapnya disela tawanya. "Ah sudahlah,aku harus pergi. Sekarang. Akan kuceritakan nanti malam, di bar. Oke?" ucapnya. Aku mengangguk setuju. Sesaat kemudian Theo-pun beranjak meninggalkanku, yang dipenuhi dengan tanda tanya besar.

Aku berjalan kearah perpustakaan kampus. Namun aku merasa ada yang aneh, seperti ada yang mengikutiku? Aku menoleh kearah belakangku. Rupanya gadis bernama Mima yang malam tadi kuantarkan pulang terlihat tengah berbincang dengan salah satu mahasiswi universitas ini. Aku tidak tahu apa yang ia perbincangkan. Tapi saat aku melihat kearah gadis yang diajaknya berbincang, wajah gadis itu terlihat sangat bingung.

"Yeah, you're right. You're right.." hanya itu kata-kata yang kudengar, yang keluar dari mulut Mima. Aku mengendikkan bahu lalu melanjutkan perjalananku. Aku merasa ada yang aneh lagi. Ya, aku yakin. Mima mengikutiku. Aku menoleh lagi kebelakang. Gadis itu kalang kabut, lalu akhirnya menuju tempat sampah terdekat dan mengarahkan pandangannya kesana. Berlagak mencari sesuatu didalam tempat sampah itu.

"Hello, Skan.." ucap salah seorang gadis yang paling cantik di jurusanku bernama Elizabeth. "How are you today? May I take a picture with you? Just us." tanya-nya. Aku tersenyum setuju. Baru saja gadis itu akan mengambil foto bersamaku, seolah terlihat sangat disengaja Mima datang dan berjalan disampingku. "Hey, kau tidak melihat kami sedang apa?" tanya Elizabeth dengan wajah kesal.

"Oh, kalian sedang mengambil foto ya? Bisakah aku membantu?" tanya Mima. Elizabeth mengangguk dan menyerahkan Iphone terbarunya pada Mima. "Bersiap, satu, dua, tiga.." Mima menekan tombol handphone milik Elizabeth dengan sangat cepat menyebabkan gambar yang diambil tidak jelas dan buruk.

"Skan, sepertinya kita harus berpose lain kali saja." ucap Elizabeth kesal sambil menatap Mima. Aku mengangkat alisku sambil tersenyum. Elizabeth menarik handphone-nya dengan kesal dari tangan Mima. Aku menatap Mima dengan sorot mata - meminta penjelasan. Gadis itu berdiri kaku dihadapanku.

"Kau tahu.." ucap Mima pelan. "Aku dapat berada dihadapanmu sekarang ini berkat beasiswa." ucapnya.

"So?" tanyaku kesal.

"Aku tidak memiliki teman disini. Aku.." gadis itu menghentikan ucapannya sesaat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya menemukan teman di negeri ini. Ini pertama kalinya aku berada disini." ucap gadis itu.

"I don't care.." ucapku sambil berlalu. Namun gadis itu menarik lenganku dengan mata berkaca-kaca.

"Jadilah temanku. Tolong.." ucap gadis itu sambil memohon.

"You know, Miss?" tanyaku. "Aku paling tidak suka melihat seseorang memohon padaku. Aku benci hal itu. Terlebih orang yang selama dua hari berturut-turut membuatku kesal sepertimu." ucapku. Aku melihat gadis itu mulai menunduk sedih. 

"Tapi, kali ini. Baiklah. Mari berteman." ucapku akhirnya. Jujur, aku tidak tega melihat gadis itu.

"Kau serius? Thanks!!!" ucap gadis itu girang. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari tas-nya yang berbentuk boneka coklat besar dan petak. Ia mengeluarkan sebuah bross berbentuk es krim dari dalam sana. "Ini hadiah pertemanan untukmu." ucapnya. Aku masih bingung mendapati gadis itu memberikan sebuah benda konyol yang biasanya hanya dimiliki oleh perempuan kekanak-kanakan. "Kau tidak mau?" tanya-nya.

"Eh, bukan maksudku.."

"Aku akan memasangkannya." ucap Mima lalu meletakkan bross tersebut di ranselku. "Sudah!" ucapnya sambil tertawa girang.

"What do you want from me?" tanyaku.

"Anak!" gadis itu berbicara dengan cepat, menggunakan bahasa daerahnya yang sama sekali tidak kumengerti. Lalu, ia segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya kemudian tertawa. "Okey, baiklah. Aku hanya ingin kau mengajakku berjalan-jalan di daerah London. Karena aku sangat ingin tetapi aku tidak mengerti rute." ucapnya. Aku mengangguk.

"Nanti malam jam tujuh akan kujemput di flatmu." ucapku. "Oh iya, jangan lupa memakai mantel. London sangat dingin." ucapku.


Hello, London?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang