Mantel Pertamaku

236 37 1
                                    


MIMA

Aku kembali mendekap tubuhku dengan kedua tanganku. Ini sudah lewat dari jam yang dijanjikan untuk pertemuanku dengan Skandar malam ini. Aku berdiri didepan flatku dengan mantel tebal yang baru kubeli saat pulang kuliah tadi dengan sisa tabunganku.

Yah, kuaikui biaya hidup disini mungkin berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan dengan negara asalku. Darimana lagi aku mendapatkan uang kalau bukan uang saku beasiswaku? Orang tuaku? Oh tidak. Aku sangat tidak ingin merepotkan mereka. Aku bahkan membohongi Ibu dan ayahku. Aku mengatakan, bahwa uang beasiswaku sangat besar sehingga mereka tidak perlu lagi mengirimi aku uang setiap bulannya. Apakah ini termasuk sebuah dosa?

Oke, baiklah sedikit kuceritakan tentang program beasiswa. Aku adalah mahasiswa seni disalah satu universitas negeri di Indonesia. Awalnya aku mendaftar tiga buah program beasiswa sekaligus. Hitung-hitung cadangan, agar jika beasiswa pertama tidak lolos aku bisa mengambil beasiswa lainnya.

Oke, disana terdapat beberapa negara pilihan study. Diantaranya Australia, Inggris, Amerika, dan masih banyak lagi. Dan tidak sedikit pula usaha yang kulakukan demi meraih beasiswa ini. Mulai dari belajar mati-matian, mendatangi rumah guru-guru SMA-ku dan meminta mereka untuk mengajariku berhitung dan berbahasa Inggris, tidak tidur untuk menghapal vocab dan masih banyak lagi.

Perjuangan itu membuahkan hasil. Akhirnya aku berhasil meraih beasiswa ke Cambridge University dengan biaya tunjangan selama dua tahun disini. Dan itu pertama kalinya aku melihat ayahku menangis bangga terhadapku.

Saat kepergianku menuju London, ntah mengapa banyak sekali yang mengantarku ke bandara. Mulai dari kedua orang tuaku, adikku, keluarga besarku yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, teman kantor ayahku, tetangga-tetanggaku, dosen-dosenku, guru-guruku saat masih duduk di bangku sekolah menengah, sahabat-sahabatku ketika sekolah, sahabat kecilku Saptha, teman-teman SMA-ku, serta teman-teman kuliahku. Aku merasa sangat spesial hari itu.

Aku kembali melirik arloji pemberian tanteku. Saat ini jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah tidak ada harapan. Seharusnya aku sadar, bahwa orang seperti Skandar tidak akan mungkin mau keluar dengan gadis sepertiku. Yah, aku terlalu berharap.

Ntah mengapa malam itu air mataku menetes. Ada perasaan sakit disini. Dihatiku, yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.

***

Hello, London?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang