Tears. Part 4

7 4 0
                                    

Pukul setengah tujuh pagi. Matahari telah datang menyinari. Cahayanya menembus ke jendela kaca milik Daniel. Tak lama Daniel mengerjapkan mata beberapa kali.

Dengan segera ia bangun dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selanjutnya Daniel menuju meja makan untuk sarapan. Tapi, satu hal yang membuatnya terkejut.

"Gladis, tumben ke sini pagi-pagi?". Yang ditanya hanya menunjukkan senyumannya.

"Mama yang nyuruh Gladis ke sini. Biar kita bisa sarapan bareng". Daniel hanya menganggukan kepala. Kemudian mereka sarapan bersama-sama. "Daniel". Daniel hanya berdehem tanpa menatap ibundanya.

"Kamu gak ada niatan untuk menikah dengan Gladis?".

Uhukk

Pertanyaan tersebut sukses membuat Daniel tersedak makanan. Dengan cepat Gladis memberikan segelas air putih untuk meredakannya. Setelah meneguk setengah gelas air putih, Daniel menatap mamanya heran.

"Apa sih ma?".

"Ya mama hanya tanya. Apa kamu ada niatan untuk menikah. Itu saja". Daniel menatapnya dengan malas lalu kembali menatap sarapannya.

"Belum Daniel pikirin". Seketika raut wajah Gladis lesu. Sebenarnya Daniel sudah merasakan perubahan wajah Gladis. Tapi tidak dihiraukan.

Setelah sarapan Gladis mengajak Daniel untuk jalan-jalan di taman dekat kediaman Alexander. Disana begitu ramai pengunjung. Apalagi ini akhir pekan.

Karena merasa puas sudah berkeliling di taman. Mereka memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia disana. Tanpa ada rasa ragu Gladis menyenderkan kepalanya di bahu Daniel.

"Daniel".

"Hm".

"Ah gak jadi deh"

"Baik-baik saja?". Seketika Gladis menggeleng.

"Tidak, aku tidak baik-baik saja"

"Kenapa?".

"Aku tidak mau menceritakannya".

***

Malam hari ini begitu gelap. Tidak ada bintang hanya ada bulan yang menyinari. Suasananya begitu hening.

Daniel memandangi langit itu. Sora sangat menyukai langit. Tak lama sebuah memori datang menemui pikirannya hingga penuh. Kemudian Daniel tersenyum.

Tapi hal itu selesai saat seseorang membuka pintu kamarnya. Daniel menghadap ke arah seseorang yang membuka pintu itu.

"Mama". Setelah itu Saida duduk dibibir ranjang milik Daniel. Dengan langkah perlahan Daniel menuju ranjang dan duduk disamping Saida.

Saida tersenyum memandang sang buah hati yang kini telah tumbuh besar. Ia mengelus puncak kepala Daniel.

"Anak mama sudah besar ternyata".

"Apa yang membuat mama kemari?". Saida menurunkan tangannya dari kepala Daniel. Dan kini ia memandang langit-langit.

"Daniel mama tau kalau hal ini tidak perlu dibicarakan lagi. Tapi–".

"Masalah pernikahan bukan?". Potong Daniel cepat. "Apalagi yang ingin dibicarakan lagi. Kan tadi Daniel sudah bilang kalau Daniel belum memikirkannya".

"Mama tau. Tapi, Gladis butuh kepastian sayang. Dia juga tidak bisa menunggu lama lagi". Daniel bungkam, apa yang dikatakan mamanya itu benar. Gladis tidak bisa lama-lama lagi untuk menunggunya.

Daniel menatap wajah ibundanya. Ia menghela nafas.

"Jadi apa yang harus Daniel lakukan?". Saida mengelengkan kepala. Kemudian ia mengelus tangan sang buah hati dengan lembut.

TEARS | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang