Ulangan

34 14 0
                                    

Rasa. Tak dapat dielak maupun diatur dengan logika. Tuhan dan takdir saja yang dapat membuatnya bahagia ataupun terluka. —

Sinar mentari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela. Menghangatkan para penduduk bumi yang baru terjaga dari lelap tidurnya. Memulai aktifitas mereka sebelum mentari berada di pucuk kepala. Michel pun sudah terbangun sebelum matahari menyinari bumi, ia menyiapkan ulangannya nanti. Ia ingin nilainya menjadi yang terbaik. Rambut coklatnya tergerai begitu saja, seragam sudah melekat pada tubuhnya, dan otaknya telah siap menerima kertas ulangan bahasa inggris hari ini.

"Hoaammm!" Aster yang baru terbangun menguap lalu mengucek kedua matanya, tak lupa berdo'a pada Yang Maha Kuasa. Ia matanya tertuju pada jam dinding, masih pukul enam lewat tiga pukul menit. Apa? Pukul enam lewat tiga puluh? Setengah tujuh?! Ah! Ia akan terlambat jika tidak bergegas pekik Aster dalam hati. Di ranjang bawah Felic masih berkutat dengan novel yang sama dari semalam. Namun, seragam sudah melekat pada tubuhnya. Ara, ia tak tau dimana gadis itu.

"Fel, Ara mana?"

"Mandi."

"Udah lama belom?"

"Lumayan"

"Hadeuh, pasti lama beut."

"Mulus banget tuh mulut omongin gue. Sana mandi, jangan kelamaan. Gue tinggalin lo!"
ancaman Ara membuat Aster buru-buru menuju kamar mandi.

'Tumben, gercep banget dia. Wkwkwk' batin Ara.

"Fel, minjem pulpen dong. Buat jaga-jaga si kecebong nggak balikin pulpen gue." Felic mengeluarkan pulpen kenki dan memberinya pada Michel. Felic dan Michel pergi setelah berpamitan dengan Ara. Michel memasang earphone hitam kesayangannya, memutar lagu love yourself suara Devan yang kemarin ia rekam sembunyi-sembunyi. Sesekali ia memejamkan matanya menikmati chord gitar saat intro. Hal itu membuat Felic penasaran akan apa yang sedang didengarkan Michel dan membuatnya hanyut dalam lagu itu.

"Chel, minjem dong! Mau denger juga! Penasaran tau..." Felic memanyunkan bibirnya seperti bayi menginginkan mainannya direbut, kembali.

"Nih!" Michel menyodorkan earphone sebelah kirinya tanpa rasa curiga sedikitpun pada Felic.

"Nih!" Michel menyodorkan earphone sebelah kirinya tanpa rasa curiga sedikitpun pada Felic

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

    Anggap aja earphonenya hitam, terus mereka pake seragam ya. Ok!(author)

"Suara siapa nih? Kayaknya gak asing?"

"Emm..anu, ini suara..."

"Felic, Michel." Kedua roommate mereka berteriak memanggil, Michel mengelus-elus dadanya lantas bernafas lega akan kehadiran Ara dan Aster. Mereka pun berbaur, sehingga Felic tak menanyakan lagi persoalan pemilik suara yang menyanyikan lagu itu, dan mereka menuju kelas X-3 IPA, kelas X paling ribut seantreo sekolah.
                   _____________________

Kelas XI-1 IPA, kelas dengan murid-murid berotak jenius bagai wikivedia. Namun kebanyakan mereka merupakan orang yang mempunyai lawakan receh legend. Raka Ulka Pratama contohnya, seorang laki-laki tampan, pintar, humoris, pengertian, dan kaya. Sangat mendekati kata SEMPURNA. Banyak kaum hawa SMAN Bela Negara yang ingin mendekatinya, namun ia tidak pernah mau menanggapi mereka. Raka tak mau membuka luka lama itu lagi.

"Ka, bentar lagi udah mulai ulangan fisika. Lo udah belajar, kan?"

"Udah kok."

"Aelah lo! Pertanyaan gitu lo tanya sama wikivedia berjalan."

"Suka-suka gua dong. Mulut-mulut gua, mulut ntuh diciptakan untuk berbicara dan menanyakan sesuatu yang berfaedah!"

"Dasar kebo! Mau menang mulu."

"Biarin!" Askar tersenyum bangga, ia berhasil mebungkam mulut Reza.

"Oh, iya Ka. Pulpen tuh anak baru..., udah lo balikin belom?"

"Belom."

"Kok belum? Atau jangan-jangan lo demen sama dia. Cuma lo nggak berani megang dia, jadi lo bisanya megang pulpen dia. Wkwkwk!" Reza tertawa keras, secara otomatis Raka memasang muka datarnya dan menatap tajam Reza.

"Sorry, bro. Becanda doang, aelah baper dia."

"Tapi bukannya fakta, kalo lo suka sama Michel? Ya, kan? Ka?" Askar menimpal ucapan Reza yang memang benar adanya. Faktanya memang begitu, jika Raka tidak menyukainya, mengapa Raka mau menunggu Michel di depan kelasnya, mendonorkan darah, khawatir padanya, dan selalu memperhatikan Michel?.

"Iya, gue suka sama Michel. Gue bukannya nggak berani ungkapin rasa, tapi gue takut hal yang pernah terjadi dulu ke ulang lagi. Gue takut Michel bakal ninggalin gue, kayak Zephyr dulu. Lo tau kan tentang hal itu?" Zephyr Daksina, satu-satunya mantan Raka, meninggalkannya dengan luka di saat-saat terburuk Raka.

"Njirr, curhat.."

"Heem.. gue tau, Ka. Tapi gue takut Michel bakal dimilikin sama orang lain, sebelum lo nyatain perasaan lo."

"Semangat, Ka. Gue bagian do'a aja deh. Kan gue nggak ngerti tentang cinta."

"Etdah, nih bocah."

"Lusa gue balikin pulpen Michel, Rez temenin ya!"

"Gue lagi dah, korbannya." kini Reza yang memasang muka datarnya dengan tangan menopang otaknya yang sering geser. Bu Jia—guru fisika mereka—memasuki kelas mereka, seketika hening melanda.

"Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak"

"Wa'alaikum salam, pagi, bu"

"Keluarkan selembar kertas, kita akan langsung memulai ulangan fisika bab pertama yaitu " Kesetimbangan dan Dinamika Rotasi".

"Baik, bu." jawab semua murid.

"Askar, minta kertas dong. Buku gue gak bisa dirobek lagi."

"Yee, kate anak konglomerat. Kertas selembar kagak punya. Ape kate dunie?" Ejek Askar sembari memberikan selembar kertas pada anak konglomerat—Reza.

"Besok gue nggak minta kertas lo lagi deh!"

Bu Jia mulai membagikan kertas ulangan. Raka tersenyum melihat soal pertama, ia baru saja mengulang membaca rumus dari soal tersebut. Melihat soalnya saja Reza sudah dibuat pusing apalagi mengerjakannya. Sungguh, ia akan menunggu bantuan dari Tuhan.

1.

Soal pertama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Soal pertama.

Raka mengerjakannya dengan teliti dan cepat. Dari soal pertama saja sudah terlihat senyum miringnya, mengartikan bahwa soal tersebut mudah untuknya. Reza yang berotak pas-pasan hanya bisa pasrah dengan bantuan Tuhan dan cap cip cup ala anak sekolah dasar, Askar juga sesekali melakukan hal yang sama dengan Reza. Soal terakhir, Raka berhenti sesaat, ia melihat pulpen milik gadis kantin—Michel—disamping lembaran jawabannya. Ia khawatir akan apa yang dikatakan oleh Michel, benar. Ia tak bisa menggunakan pulpen lain selain pulpen kenki miliknya. Apa lagi hari ini ia ulangan bahasa inggris.
                    ________________________


Thanks for all readers😘❤
Jangan lupa ninggalin vote dan komen untuk typo-typonya, karena itu berharga banget buat author!
Next part!

Michella [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang