Filosofi Nahwu

29 4 2
                                    

Kicauan burung mulai terdengar, suara jangkrik mulai lenyap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kicauan burung mulai terdengar, suara jangkrik mulai lenyap. Dedaunan masih tertunduk seakan bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Langkah tegap menyapu debu-debu yang menempel di lantai, ayunan sarung bercorak kotak-kotak mengiringi langkahnya, jenggot dan kumis tipisnya menambah kewibawaannya, “Assalamu’alaikum” Ustadz Fathur memasuki kelas.

“Wa’alaikumsalam Ustadz” jawab santri yang hadir.

“Sebelum dimulai, semuanya berdo’a terlebih dahulu” Perintah Ustadz Fathur, seluruh santri pun berdo’a bersama-sama.

“Sbastian! Siapa yang belum hadir?” Tanya Ustadz Fathur kepada Sbastian, Sbastian adalah ketua kelas.

“Sudah hadir semua Ustadz, kecuali yang sakit” Jawab Sbastian.

“Siapa saja yang sakit?” Lanjut Ustadz Fathur.

“Mulyanto dan Fasya Siregar Ustadz”

“Fasya Siregar itu yang mana?”

“Fasya Siregar anak baru tadz, di pondoknya baru satu minggu” potong Ikhsan.

“Oh... yang rambutnya gimbal itu kan? Nanti kalau dia sembuh suruh potong rambut” Begitulah jawab Ustadz Fathur, ia tidak suka jika ada santrinya berpenampilan tidak rapi.

“Iya Ustdaz, biar saya aja yang nganter dia nanti” Jawab Ikhsan, Ikhsan itu memang suka kalau disuruh keluar pondok, apalagi pake motor.

“Ya sudah, semuanya tenang, kita mulai pelajaran nahwunya!”

Kelas pun dimulai, semua santri memerhatikan dengan seksama, karena jika mereka tidak paham pada permulaanya, maka sampai ke sananya pun mereka akan sulit untuk memahami. Nahwu itu laksana matematika.

Aladin, ya dia masih duduk termenung memerhatikan penjelasan Ustadz Fathur pada pelajaran nahwu pagi itu, dalam hati ia berucap, “Sebenarnya aku memiliki perinsip hidup seperti ilmu nahwu. Berawal dari sebuah kalam dari untaian beberapa lafazh yang ku kemas dengan penuh ma’na laksana mufid. Aku tak mau seperti mudhaf ilaih yang selalu bersandar kepada orang lain, namun aku ingin seperti qod pada fi’il madhi yang bersungguh-sungguh dalam menggapai cita-cita. Cita-citaku pun tak seperti lafazh yang hanya bisa diucapkan, hampa. Namun cita-citaku laksana jumlah mufidah, sempurna dan paripurna, yang memberikan manfa’at untuk seluruh umat. Bagiku belajar bahasa Arab itu sangat menyenangkan.”

“Gimana anak-anak, bisa dimenegerti?” Tanya Ustadz Fathur, memastikan bahwa semua muridnya mengerti apa yang ia sampaikan.

“InsyaAllah bisa dimengrti Ustadz” Jawab santri secara serempak, ya entah benar-benar mengerti atau mungkin ada yang hanya ikut berbicara karena ingin cepat-cepat pulang.

“Aladin, Fa’il i’rabnya apa?” Tiba-tiba Ustadz Fathur memberi pertanyaan kepada Aladin.

“Hmm anu, rofa’ Tdaz” Jawab Aladin dengan yakin.

“Ikhsan, syarat kalam ada berapa?” Ustadz Fathur lanjut memberi pertanyaan kepada Ikhsan.

“Ada empat tadz, Lafazh, Murokab, Mufid, Wadha.” Jawab Ikhsan dengan cepat.

“Baiklah saya rasa pelajaran pagi ini sudah cukup, jangan lupa pelajran nahwu ini terus dibaca, diulang-ulang di kamar nanti” Begitulah wasiat setiap akhir pelajaran Ustadz Fathur, selalu menyuruh muruid-muridnya untuk selalu mengulang pelajaran.

Bagi Aladin, pelajaran nahwu itu memang menyenangkan. Dan ternyata ilmu nahwu memiliki sedikit filosofi yang unik. Fa’il adalah pelaku pekerjaan, mungkin didunia nyata mereka adalah para aktivis. Mereka tidak mau berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain karena bagi mereka itu adalah sebuah kehinaan. Naib fa’il berperan sebagai pengganti fa’il, euummm mereka di dunia nyata sebagai yang mewakili para aktivis, yang membantu pekerjaan seorang aktivis. Ia tetap melakukan pekerjaan sebagai aktivis walaupun hanya mewakili dan menjadi penderita dalam bentuk asli kalimatnya. Mubtada' di dunia nyata ia laksana pioneer, orang yang pertama melahirkan ide-ide positif yang kemuduian diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat, orang seperti ini pantas untuk mendapat derajat rofa’ (tinggi). Ada pepetah mengatakan, “ketutamaan itu bagi orang yang memulai, meskipun orang datang setelahnya dapat melakukannya dengan baik”. Khabar adalah bentuk informasi, salah satu pepatah dalam ilmu informasi adalah “mereka yang memiliki khabar (informasi) itulah orang yang menguasai”. Terakhir kita juga tahu dalam ilmu nahwu ada istilah tawabi’ marfu’ dalam dunia nyata mereka adalah orang-orang yang mengikuti jejak langkah dan perjuangan pendahulunya yang telah mendapat derajat tinggi.

Proses pemebelajaran pagi itu pun ditutup dengan do’a kifaratul majlis, dan santri pun bubar untuk melanjutkan kegiatan yang lain.

Diary JasmineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang