Pagi itu Aladin dan teman-temanya yang lain terlihat sangat disiplin, berbeda dari hari biasanya. Pukul enam pagi mereka sudah bergegas pergi ke kamar mandi. Seluruh santri pun demikian, mereka mandi lebih pagi, tentunya setelah semua halaman pondok pesantren Nurul Hikmah bersih.
"Wooyy siapa di dalem, cepat nih sudah siang," ucap salah satu santri, ya begitulah tidak seperti santriah, para santri tetap saja menggunakan bahasa Indonesia.
"Eh aku di kamar mandi nomer empat ya, awas kalau nyalip," ucap Syamsul kepada salah satu temannya.
"Apaan woy, ane di sana," timpal seorang santri kakak angkatan mereka. Seperti itulah di pesantren, santri yang paling kecil kadang jadi korban keusilan kakak kelasnya.
Selesai mandi mereka bersiap-siap untuk masuk kelas, "Eh buku catatan fikihku mana ya, kok gak ada?" ucap Aladin, sambil mengakat satu persatu tumpukan buku."
"Oh iya, tadi aku pinjam Din," jawab Fasya, Fasya memang termasuk santri yang malas menulis catatan pelajaran, dia lebih senang membaca buku-buku yang ia bawa dari rumah.
"Oh sama kamu Fasya, apa coba susahnya minta izin dulu sebelum ngambil," timpal Aladin sedikit kesal.
"Iyaa maaf, kan kamu tadi lagi mandi. Yaa aku pinjam bentar dong, kan kamu tahu aku jarang nulis catatan, jadi bingung juga sekarang aku mau ngisi apa di kertas ujian," jawab Fasya, ngeles.
Jam sudah menunjukan pukul 07.30, menandakan bahwa waktu ujian pondok pesantren Nurul Hikmah akan segera dilaksanakan, seluruh santri sudah bergegas menuju kelasnya masing-masing, duduk rapi sambil menghapal kemabali kisi-kisi yang telah diberikan oleh Ustadz.
"Aladin ayo, kayaknya ruangan kita pengawasnya sudah datang," ajak Ikhsan kepada Aladin.
"Masa sih? Yuk cepet, nanti kena hukuman lagi." Mereka berdua berlari kecil menuju ruang ujian mereka.
"Assalamu'alaikum, afwan tadz kami sedikit telat," ucap Aladin dengan watadosnya langsung menyelonong masuk dan duduk di bangku ujiannya.
"Dari mana kamu Aladin?" tanya Ustadz pengawas.
"Dari belakang tadz, habis buang air kecil," jawab Aladin mantap.
"Kalau kamu ikhsan?""Saya disuruh nemenin Aladin tadz he," jawab Ikhsan sambil menoleh ke Aladin.
"Yaudah ini kalian ambil soal dan lembar jawabannya," perintahnya kepada Aladin dan Ikhsan.
Semua santri fokus membaca soal kemudian menuliskan jawabannya, ya walaupun sebenarnya ada santri yang masih ngobrol, saling tanya, bahkan saling tukar jawab, bahkan ada juga yang bagi tugas. Teman sebangkunya mengisi soal dari nomer satu sampai lima belas, temannya yang lain mengisi dari nomer enam belas sampai tiga puluh. Ya begitulah kegiatan ujian santri di pondok pesantren Nurul Hikmah. Ada santri yang sangat pelit akan jawaban, ada juga yang suka rela memberi tahu jawabannya supaya keluar kelas barengan. Tentunya kita bisa menilai mana yang baik dan mana yang kurang baik.
Satu persatu santri telah menyelesaikan ujiannya, namun belum satu pun dari ruangannya Aladin, entah semuanya pemikir atau mungkin semuanya tak tahu apa yang harus ditulis di lembar jawaban.
"Ustadz saya sudah," ucap salah satu santri, dan ternyata orang itu adalah Syamsul.
"Baiklah, Samsul kamu boleh keluar," Syamsul dipersilahkan untuk beristirahat.
Jika digambarkan, orang yang akan keluar dari ruang ujian itu laksana malaikat penolong bagi santri yang lain. Samsul ketika berjalan menuju pintu keluar, banyak santri yang mencolek dia, "Sam, nomer ini apa. Sam nomer sekian gimana. Sam sombong ente" dan masih banyak sekali bisikan-bisikan santri yang bertanya kepadanya, namun tidak ia gubris.
"Ustadz saya juga selesai tadz," tiba-tiba Aladin berdiri dan langsung mengumpulkan kertas ujian.
"Wih pinter ente din," kata Ikhsan tampak tak percaya kalau Aladin telah selesai mengerjakan soal ujian.
"Iya dong, pelajaran fikih gampang kok," jawab Aladin, sombong.
"Kalau gitu nomer tujuh apa tuh jawabannya din, he," tanya Ikhsan.
"Soalnya gimana aku lupa lagi?" jawab Aladin, balik bertanya.
"Aladin, kalau sudah cepat keluar jangan ganggu yang belum selesai," tegur Ustadz, menyuruh Aladin supaya segera keluar ruangan.
"Iya iya tadz, saya keluar sekarang. Maaf ya san," jawab Aladin, sambil berjalan keluar ruangan.
Kok bisa ya, orang-orang percaya sama ane, padahal jawabanku belum tentu benar. Tapi, ah bodo amat yang penting aku sudah menyelesaikan ujian hari ini. Semoga ujian selanjutnya selalu mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Jasmine
General FictionFitrah manusia tumbuh antara benci & cinta. Maka cintailah jasad yang tak mungkin sama, dan bencilah sikap yang tak senada dengan norma. Hingga saat sikap itu hilang, yang tersisa antara kita hanyalah cinta. ~Aladin