Bagi sebagian banyak orang, senja memberikan ma’na mendalam. Hadirnya sesaat, namun selalu dinanti. Sinarnya yang redup kegelapan, mengajarkan kita bahwa keindahan bukan hanya berbicara tentang keterangan yang menyilaukan. Begitupun dengan kehidupan, bukan hanya berbicara tentang popularitas dan kekayaan, karena nyatanya orang yang menutup diri dan merasa cukup dengan apa yang tuhan beri lebih Bahagia.
Namun sayang, di langit Nurul Hikmah senja tak bisa disaksikan oleh mereka. Di teras masjid mereka hanya memandangi sang mega. ‘Aku masih rindu, namun ternyata kau bukanlah senja, kau hanyalah sinar mega’ gumam Aladin dalam hati.
“Din!” sapa Samsul.
“Ia Sam, ada apa?” Jawab Aladin, sambil menggeser tempat duduknya mendekati Samsul.
“Ini Din, katanya nilai ujian itu ditempel besok ya?” tanya Samsul.
“Iya, emang napa?” Jawab Aladin, balik bertanya.
“Lah itu anak-anak dari tadi siang udah pada kesana, udah pada liat nilai mereka.”
“Lah, masa iya sih?” Aladin sedikit tidak percaya.
“Beneran, makannya yuk kita liat nilai ujian kita!” Ajak Samsul.
“Oke ayu, yuk cepet,” Aladin langsung memakai sendalnya, karena terburu-buru ia tak menghiraukan sendal santri lain yang tak sengaja ia tendang.
Mereka berdua berlari menuju papan pengumuman, bahkan Aladin langsung hilang dari pandangan Samsul. ‘Yaelah kebiasan dia, kalau lagi seperti ini suka gak inget sama temannya,’ gerutu Samsul.
“Eh, Sam! Mau kemana kau?” Tanya Ikhsan dari balik pintu kamar yang bolong.
“Apa, siapa itu? Oh Ikhsan”
“Mau kemana kamu Sam?”
“Aku mau liat nilai ujianku,” jawab Samsul.
“Oh.. ya udah sana,” ujar Ikhsan.
“Kamu gak mau ikut?” Tanya Samsul.
“Aku sudah liat tadi, habis shalat Asar,” jawabnya.
Samsul pun berlalu pergi menyusul Aladin, ia melihat Aladin sedang mencurat-coret salah satu kertas yang nempel di sana.
“Woy kenapa kau coret nilainya?” Sambil berlari kecil Samsul menegur Aladin.
“Parah Sam, nilai pelajaran tauhidku cuma dapet lima puluh,” jawab Aladin kesal.
“Iya kenapa kamu coret?” Tanya Samsul kedua kalinya.
“Ya.. gak papa sih, banyak juga tuh punya orang lain yang dicoret, lagian parah nih, katanya mau ditempel besok,” ucap Aladin.
“Ya gak boleh gitu dong, liat nih nilai nahwu punyaku cuma dapet tigalima biasa aja, bodo amat haha,” ucap Samsul kepada aladin sambil menunjuk nilai pelajaran nahwunya.
“Iya iya, ini juga ku tulis lagi kok nilaiku,” sambil Aladin menulis kembali nilainya.
“Ya udah yuk balik masjid ah,” ajak Aladin.
“Bentar, aku belum liat nilai fikihku,” jawabnya, sambil ia mencari-cari peljaran fikih dan akhirnya ia menemukan kertas nilainya.
“Yuk udah ketemu kok,”
Mereka pun pergi ke masjid dan kembali memandangi mega, tak lama lagi adzan maghrib akan dikumandangkan.***
Pukul 20:30 para santri masih berkumpul dengan kelompok PKS-nya masing-masing. Kumpulnya satu ruangan dengan kelompok akhwatnya, namun tetap memakai hijab penghalang antara laki-laki dan perempuan. Kebetulan Aladin satu kelompok dengan Dhiyah, Dhiya adalah perempuan yang paling cerdas di kelasnya, sudah tentu ia menjadi wanita idaman bagi semua orang. Ya memang mereka anak bau kencur dan tak pantas seumuran mereka memikirkan hal seperti itu.
Namun dari situlah benih cinta tumbuh dalam hati Aladin kepada Dhiya, sesekali Aladin curi-curi pandang. Dhiya santriah teladan dan selalu duduk di bagian depan, jadi Aladin sangat mudah untuk memandangnya. Akhirnya kumpul kelompok selesai, Aladin sengaja memunggu di tangga supaya dia bisa memandang Dhiya.
“Stt.. Stt. Dhiya, Dhiya!” Aladin sedikit berbisik memanggil Dhiya.
“Afwan,” hanya satu kata yang keluar dari mulut Dhiya, dan kemudian pergi berlalu.
“Sial, dikacangin, nilai tauhidku dan perasaanku sama-sama kacang,” gerutu Aladin sial, ia pun menuruni tangga dan berjalan menuju kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Jasmine
General FictionFitrah manusia tumbuh antara benci & cinta. Maka cintailah jasad yang tak mungkin sama, dan bencilah sikap yang tak senada dengan norma. Hingga saat sikap itu hilang, yang tersisa antara kita hanyalah cinta. ~Aladin