Tiupan angin sepoi memberikan udara sejuk di sore hari, dedaunan yang tua renta terjatuh karena tiupan angin, capung-capung riang menari diiringi nyanyian indah para tonggeret, Aladin masih fokus kepada padi-padi yang seakan melambai, sesekali ia melirik para petani yang mengangkat cangkul di pundaknya, mengikat golok di pinggangnya dan menjinjing wadah bekal makanan yang telah habis dimakan saat beristirahat dari pekerjaannya tadi.
Aladin diam tak bersuara, di teras rumah dia melamunkan nasib dirinya saat nanti pergi meninggalkan rumahnya dan tinggal di pondok pesantren. Dia tidak bisa menolak keinginan orang tuanya yang memintanya untuk melanjutkan masa belajar di pondok pesantren, mungkin karena takut Aladin akan terbawa pergaulan jika sekolah di sekolah umum.
“Aladin cepat siap-siap, ini sudah jam empat, setengah lima nanti kita berangkat”
Lamunan Aladin terpotong dan kabur karena seruan ayahnya, sang ayah pun pergi meninggalkannya tanpa berkata-kata lagi. Aladin pun beranjak dari kursinya, ia berjalan masuk ke dalam rumah, dalam hatinya dia bertanya, “Kenapa aku sampai lupa kalau ini hari minggu, untung pakaianku sudah ku siapkan kemarin” Ternyata di tengah lamunannya tadi Aladin melupakan hari pemberangkatannya ke pondok pesatren.
“Aladin... Aladin... Ayo berangkat!” Seru ayahnya dari atas motor yang sudah dipenuhi dengan barang di bagian depan.
“Iya tunggu bentar” Jawab Aladin dari dalam rumah sambil ia berlalri kecil menuju pintu keluar.
“Ayo... Malah melamun”
“Iya iya ini naik bi” Aladin berpijak pada step motor dan mulai memosisikan dirinya dengan posisi duduk yang nyaman dan aman.
Akhirnya mereka berangkat, sang ayah mengantar Aladin untuk pergi belajar di pondok pesantren. Aladin melambaikan tangan dan mengucap salam kepada sang ibu yang memandangnya dari teras rumah. “Semoga kamu sukses di sana nak, menjadi anak shaleh, dan mengangkat derajat keluarga di Akhirat maupun dunia” Begitulah do’a yang terucap dalam hati seorang ibu untuk melepas putranya. Seketika mereka hilang dari pandangan sang ibu, suara motornya pun mulai hilang.
Sang ibu berdiri di teras depan rumah, memandang padi-padi yang bergelayut seakan sedih berduka karena ditinggalkan seorang laki-laki yang sering bermain dengannya di sawah. Kini sang ibu yang melamun di teras, dia berharap putranya menjadi seorang yang membantu dalam da’wah Islam, namun ia juga cemas dengan keadaannya nanti di pondok akan seperti apa, “biarlah ku lepaskan putraku pergi, karena aku tahu dia akan kembali” Sang ibu mengusap air mata kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.
***
Senja hampir sembunyikan jasadnya, mega merah mulai melukiskan abstraknya di hamparan angkasa, nyanyian gryllotalpa mulai terdengar berduet dengan jangkrik. Adzan maghrib mulai terdengar saling bersahutan keras, seakan Tuhan langsung yang memanggil hambanya untuk mengadu dan meminta di hadapannya, walaupun pada kenyataannya rumah-Nya tidak teralalu banyak pengunjung kecuali hanya orang-orang yang sudah bau tanah. Seakan kematian hanya akan menimpa mereka, manusia lupa bahwa kematian tidak mengenal masa.
Aladin melihat sekeliling, jalan yang ia lalui diapit oleh dua sawah, di ujung jalan terdapat semacam parit alami, setelah ia melewati parit tersebut nampaklah sebuah bangun cukup besar berwarna hijau. Dihuni oleh manusia yang bersarung dan berpeci. Ya, Aladin telah sampai di pondok pesantren. Aladin tidak tahu apa nama pesantren ini karena di depan pun tidak ada sebuah plang yang menunjukan nama pesantren ini.
“Aladin turun, kita sudah sampai” perintah ayahnya kepada Aladin.
Tanpa menjawab Aladin turun dari motor sambil menggendong, ia masih melihat sekelilingnya, heran, aneh, senang, sedih, perasannya tak karuan. Beberapa tahun kedepan dirinya akan tingal di tempat ini, dia selalu bertanya kepada dirinya sendiri, “mungkinkah aku akan kuat tinggal di pondok pesantren?” Walaupun selalu bertanya demikian, akhirnya Aladin sekarang sedang berdiri di sana, pondok pesantren.
“Hey, Ayo Shalat Maghrib dulu, nanti Abii anter kamu beresin barangmu di kamar”
“iya bii” Aladin tak banyak bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Jasmine
Ficțiune generalăFitrah manusia tumbuh antara benci & cinta. Maka cintailah jasad yang tak mungkin sama, dan bencilah sikap yang tak senada dengan norma. Hingga saat sikap itu hilang, yang tersisa antara kita hanyalah cinta. ~Aladin