Dhiya Lestari duduk termenung di pojok ruangan, dihadapannya terdapat sebuah buku tulis dengan pensil yang sedang ia goyangkan di atasnya. Ia memang lebih suka menulis dengan pensil dibandingkan dengan pulpen, tak heran buku-buku yang penuh dengan tulisannya sangat terlihat rapi.
Sebenarnya ia masih mengingat malam itu, saat ia disapa oleh seorang laki-laki entah siapa namanya, namun ia tahu bahwa laki-laki itu adalah teman satu angkatannya. “Apakah dia mau berbicara hal yang sangat penting, hingga ia berani memanggilku?” Dhiya bertanya kepada dirinya sendiri. “Tapi aku takut untuk menjawab panggilannya.” Lanjutnya dalam lamunan.
Dhiya masih menulis salinan amtsilah tashrifiyah yang pernah disampaikan oleh ustadz Fathur, seketika ia teringat, “Apakah mungkin mengikuti mata lomba yang sama denganku?” Dhiya kembali bertanya kepada dirinya sendiri. Kemudian ia melupakan lamunan itu dan melanjutkan menyalin tulisannya.
“Assalamu’alaikum,” ucap salah seorang santriah sambil menghampiri Dhiya.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Dhiya masih tetap pokus menulis tanpa melihat siapa yang datang.
“Dhiya kamu ikut lomba apa di PKS nanti?” Tanya temannya.
“Eh ternyata Halimah yang datang ya, ini aku ikut lomba amtsilah tashrifiah, makannya ini aku sedang merapikan tulisanku,” jawab Dhiya sambil tetap menulis.
“Oh iya, tapi kalau dari ikhwannya siapa? Kan mata lomba ini putra-putri,” tanya Halimah.
“Oh putra-putri ya, tapi kalau dari putranya aku tidak tahu siapa,” ujarnya sambil menatap Halimah dan beristirahat sejenak dari menulis.
Dhiya dan Halimah pun saling bercakap-cakap tentang perlombaan untuk PKS nanti.
Duduk di pojok ruangan, di samping jendela kaca, dan langsung dihadapkan dengan perkebunan. Walaupun kebun itu bukan milik pondok, tapi duduk merenung di depan perkebunan yang hijau adalah tempat pavorit bagi santriah Nurul Hikmah, mungkin seperti merenung di saung harapan bagi santri ikhwan.
Pagi itu hujan turun, Dhiya seketika berdiri melipat dan menyandarkan tangannya di jendela kaca itu. “Apa mungkin benar, laki-laki itu mengikuti mata lomba yang sama denganku?” Dhiya kembali ke dalam lamunannya. Ia memikirkan sesuatu, apakah salah jika ia tidak menjawab sapaannya, atau mungkin itu adalah hal benar yang ia lakukan. “Tapi jika ia ingin menanyakan tentang mata lomba amtsilah tashrifiyah bagaimana?” Ia masih tetap saja gelisah dengan kejadian semalam, walaupun hanya sebatas laki-laki tak dikenal yang memanggilnya.
“Hey, lagi ngelamunin apa kamu?” Tanya Halimah menyadarkan lamunannya.
“Ee, enggak gak ngelamunin apa-apa kok,” jawab Dhiya.
“Terus kenapa kamu diam aja,” Halimah bertanya kembali.
“Coba kamu lihat burung itu, betapa bahagianya ya mereka, terbang di bawah air hujan kemudian berteduh di bawah dedaunan sambil menggoyangkan badannya untuk melempar butiran air yang menempel di bulu-bulu indahnya,” jawab Dhiya, walaupun sebenarnya bukan itulah yang ada dalam pikirannya.
“Oh kamu sedang memerhatikan burung itu ya, serius amat,” ujar Halimah.
“Eh aku ke kamar dulu ya, aku lupa handukku di depan kamar, takut belum ada yang mindahin,” Halimah berjalan keluar meninggalkan Dhiya sendiri di ruangan itu.
Dhiya adalah wanit cerdas, anggun, lemah lembut, serta pemalu. Dhiya masih tetap beridir menatap butiran-butiran air hujan yang membasahi dedaunan dan rumput hijau di depan ruangan itu. Lamunannya mungkin masih memikirkan laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Jasmine
General FictionFitrah manusia tumbuh antara benci & cinta. Maka cintailah jasad yang tak mungkin sama, dan bencilah sikap yang tak senada dengan norma. Hingga saat sikap itu hilang, yang tersisa antara kita hanyalah cinta. ~Aladin