“Akhirnya, bebas juga hidupku di pesantren ini, walaupun ada yang mesti dihafalkan untuk PKS (Pekan Kreatifitas Santri) dua minggu yang akan datang. Tapi sudahlah, yang penting ujian pesantren ini telah selesai.” Gumam Aladin dalam lamunannya.
“Din! Gimana ujian terakhirmu tadi?” tanya Ikhsan smabil nyelonong masuk kamar.
“Ya.. begitulah, ada yang mudah ada yang sulit, kita tunggu aja besok,” jawab Aladin.
“Loh emang ada apa dengan hari esok Din?” tanya Ikhsan kembali.
“lah kamu gak tahu ya? Besok itu semua nilai santri akan di tempel di papan pengumuman”
“Wah, masa sih Din, aduh bisa-bisa malu nih kalau nilaiku kecil,” sahut Ikhsan seakan tak percaya kalau nilainya akan ditempel di papan pengumuman.
“Ya semoga saja nilai kita tidak jelek ya,” harap Aladin.
“Sekarang mendingan kita pergi ke saung sawah depan sana yuk!” ajak Ikhsan kepada Aladin.
“Ayok, tapi nanti dulu, kita tunggu Samsul sama Fasya, mereka masih di masjid.”
*****
Terlihat awan mulai murung, bertanda mendung dan hari akan hujan. Ops, tapi mungkin belum tentu hujan, karena mendung hanya datang membawa sebuah harapan akan turunnya hujan. Ya siapa yang mengira mentari siang ini akan tergulung awan murung, tapi bisa jadi sore nanti memberikan senja yang indah dibingkai mega merah.
Mereka berjalan menyapu debu lapangan dan mencuri perhatian santri yang duduk nongkrong depan kamar, ya! Para santri sudah mengira bahwa mereka berempat pasti pergi ke saung itu. Aladin, Fasya Siregar, Ikhsan, dan Samsul Hidayat.
Mata mereka memandang hamparan sawah yang sudah berbuah, padi menunduk seakan menyambut hormat kepada mereka. Terselip rumput yang bersembunyi di antara padi-padi tinggi tengah bergoyang. Langkah kaki mereka berbelok menuruni jalan coran dan menjejaki jalan tanah di pinggir sawah, dan mereka sampai di saung itu.
“Hmm ujian selesai dan kita tinggal menunggu waktu pulang ya,” ucap Samsul.
“Ya enggak lah, tahun ini kan ada PKS,” timpal Fasya.
“Oh iya ya, aku hampir saja lupa, di kelompoku aku kebagian tahfizh,” ucap Ikhsan, seakan sadar dari lupanya.
“Hmm coba kalau seperti tahun lalu, setelah ujian tidak ada apa-apa, kita tinggal nunggu waktu perpulangan,” gumam Samsul.
“Tak terasa ya, kita mondok di Nurul Hikmah ini sudah dua tahun,” ucap Aladin.
“Tapi kita masih saja belum melek untuk masa depan kita mau seperti apa,” lanjutnya.
“Hmm gimana kalau kita membuat sebuah harapan untuk masa depan kita di saung ini? Ya sambil merasakan sejuknya udara disini” Samsul memberikan ide.
“Wah ide bagus tuh,” sahut teman-temannya.
“Baiklah sekarang kita mulai dari siapa nih? Untuk menceritakan harapan dan mimpinya di masa depan nanti setelah kita selesai di Nurul Hikmah,” kata Samsul, sambil iya membenarkan posisi duduknya.
Ditemani awan mendung mereka saling bertukar harapan. Mereka sadar bahwa sebuah perubahan tidak harus menunggu orang lain, mereka memulai perubahan dengan sebuah harapan, semoga menjadi sebuah kenyataan.
~~~
“Perubahan tidak akan pernah terjadi jika kita terus menunggu waktu atau orang yang tepat, kita adalah perubahan itu sendiri.”
~Barack Obama
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Jasmine
General FictionFitrah manusia tumbuh antara benci & cinta. Maka cintailah jasad yang tak mungkin sama, dan bencilah sikap yang tak senada dengan norma. Hingga saat sikap itu hilang, yang tersisa antara kita hanyalah cinta. ~Aladin