Pagi itu pikiran Aladin masih diisi dengan kejadian semalam, 'Kok bisa ya Dhiya sekacang itu kepadaku' Aladin melamun di atas lantai tiga, tempat dimana ia selalu menyendiri ketika memikirkan suatu masalah.Sesekali juga Aladin sadar tujuan awal dia masuk pondok pesantren dan mengingat kembali mimpinya.
Waktu terus berputar, mentari pagi mulai meninggi melahap embun pagi kemudian lenyap tanpa arti. Seperti senja, sejuknya embun hanya sesaat. Aladin masih duduk di sana memeluk lututnya sendiri dan memandangi awan kekuningan yang dilukis oleh sang mentari.
"Din! Ente disini ternyata di cariin dari tadi," ucap Fasya sambil menghela nafas.
"Emang dicariin siapa sih?" tanya Aladin kepada Fasya.
"Ya gak dicariin siapa-siapa sih, tapi yuk kita bersih-bersih," ajak Fasya.
"Males ah, entahlah hari ini aku pengennya merenung aja," Aladin menolak.
"Lah ente bukan merenung tapi melamun," ujar Fasya.
"Eh ente sini coba," Aladin menarik tangan Fasya ke ujung bangunan lantai tiga.
"Eh gila kamu Din, mau lempar aku dari atas sini," Anja kaget, ia takut ketinggian.
"Eh siapa yang mau lempar kamu, coba kamu lihat itu," sambil Aladin menunjuk daun bambu di depannya.
"Apa? Daun bambu itu?" tanya Fasya.
"Iya, coba kamu pikir deh, apa hikmah dari embun pagi yang menghilang lenyap tatkala mentari mulai meninggi?" tanya Aladin.
"Yaelah yang begian dipikirin," ledek Fasya.
"Eh kamu itu harusnya mikir, ini hikmah dari tuhan berikan hal ini di hadapan kita apa? Gitu lo," jelas Aladin.
"Oke iya, entar aku mikir dulu," jawab Fasya.
Mereka berdua masih jongkok di ujung bangunan itu sambil memandangi sehelai daun bambu, yang kian mengering tersorot sinar matahari, tampak wajah serius dari wajah mereka berdua, mereka sedang berpikir keras untuk mencari hikah yang pas dari setetes embun.
"Aha aku tahu Din," Fasya sedikit berteriak.
"Apa coba?" Tanya Aladin.
"Hmm mungkin ma'nanya sama dengan apa yang dikatakan oleh Buya Hamka, 'Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Hanya tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena itu embun adalah kedurjanaan, penipu, kedustaan, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tapi jika jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budi pekerti baik, dan lain-lain perangai yang terpuji' mungkin seperti itu Din," terang Fasya kepada Aladin.
"Hmm, oke bisa diterima, tapi bagaimana jika embun itu lenyak ditarik paksa oleh terik matahari, apakah kedurjanaan, kedusataan, kesucian, kesetiaan, dan semua hal baik-buruk yang kamu sebut tadi ikut lenyap?" tanya Aladin.
"Yaa, gak tahu ah, emang menurutmu apa hikmahnya?" Fasya balik bertanya kepada Aladin.
"Menurutku, semua yang hadir di dunia ini selalu membawakan sesuatu, entah sebuah pelajaran, motivasi, guyonan atau apa pun itu. Dan bagiku ma'na dari embun itu sendiri adalah seseorang yang cerdas, pintar, atau apa pun itu kelebihan dia, dia akan lenyap begitu saja tanpa memberikan arti yang mendalam kepada sekitarnya, jika ia tidak mau berusaha mempertahankan dirinya dan hanya pasrah dengan keadaan yang ia alami saat ini, ia tidak mau keluar dari zona nyaman," menurutku seperti itu.
"Lah, terus hubungannya dengan setetes embun apa Din?" tanya Fasya.
"Ya kita lihat saja embun, ia memang menyejukan tapi ia tak bergerak berdiam diri saat mentari muncul, hingga sang mentari membuatnya hilang tiada arti. Jadi intinya gini Fasya, terkadang yang menyakitkan itu bukanlah sebuah kehilangan, tapi sebuah kenyataan bahwa kitalah yang tidak melakukan apapun untuk mempertahankan diri, seperti embun ini," jawab Aladin mantap.
"Oh iya iya, aku paham Din." Sambil menganggukan kepalanya.
"Bagus deh kalau paham," ujar Aladin.
"Eh, sekarangkan tidak ada KBM, gimana kalau kita pergi ke saung harapan itu, kita ajak Ikhsan dan Samsul juga, Yuk!" ajak Aladin kepada Fasya.
"Oke, yuk, aku juga mau mendengar nih harapanmu dan Ikhsan."
Mereka berdua pun berjalan menjauhi tep bangunan dan menuruni tangga, kemudian pergi ke kamar bermaksud untuk mengajak Samsul dan Ikhsan pergi ke saung harapan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Jasmine
General FictionFitrah manusia tumbuh antara benci & cinta. Maka cintailah jasad yang tak mungkin sama, dan bencilah sikap yang tak senada dengan norma. Hingga saat sikap itu hilang, yang tersisa antara kita hanyalah cinta. ~Aladin