Antara Wudhu dan Harapan

31 3 3
                                    

Air membasahi tangan-tangan mungil yang sering digunakan untuk menulis ilmu agama, jari-jemari bergesekan saling membersihkan sela-sela di antara mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Air membasahi tangan-tangan mungil yang sering digunakan untuk menulis ilmu agama, jari-jemari bergesekan saling membersihkan sela-sela di antara mereka.

Tangan mungil pun mengayunkan dirinya dengan seciduk air untuk memebersihkan rongga mulut yang sering digoyangkan untuk menghafal kalam mulia Allah SWT. Kemudian menciduk air kembali untuk membersihkan rongga hidung yang selalu mencium aroma wangi di dalam masjid ketika hendak tunduk bersujud kepada Allah Ta’ala.

Pemandangan yang paling indah ketika tangan mungil itu mengayunkan air ke wajah-wajah yang sering digunakan untuk bersujud kepada Rabbnya, terpancar cahaya dari wajah-wajah itu dan terlihat jelas dari cipratan air yang berjatuhan, seakan menggugurkan dosa mereka.

Bening dan sejuknya air wudhu telah membasahi kuliat wajah mereka, saat mata terbuka setelah mambasuh wajah seakan bersih pandangan, penuh harap melihat air wudhu yang mensucikan mereka untuk menghadap Rabb yang Maha Esa.

Lengan mulai basah dengan basuhan lembut nan sejuk, seakan beban berat telah hilang untuk kembali membawa kitab-kitab yang memepalajari ilmu agama. Kepala pun diusapnya, seakan menetralkan kembali pikiran mereka untuk kembali berpikir mentadabburi ayat-ayat Allah setelah Shalat Shubuh nanti.

Telinga dibersihkannya, mengusir dari sikap mendengar hal-hal yang tidak baik. Kaki pun mereka basuh, berharap setiap langkahnya menuju kebaikan dan meninggalkan setiap keburukan, serta jejaknya meninggalkan dosa-dosa yang akan terhapus oleh angin ataupun air hujan.

Allâhu Akbar Allâhu Akbar—Lâ Ilâha Illa-Allâh. Adzan Shubuh telah selesai dikumandangkan, Aladin dan teman-temanya pun sudah berada di masjid, mereka bersiap-siap untuk melaksanakan Shalat Shubuh, menurunkan lengan baju, membenarkan sarung, bercermin ke kaca masjid untuk membenarkan peci mereka.

“Woy cepet Shalat Sunnah dulu, takutnya Shalat Shubuh kita tidak sempurna, kan Shalat ini bisa jadi penyempurna nantinya” perintah Syamsul kepad teman-temannya.

“Siap” jawab Aladin.

Mereka pun melaksanakn Shalat Sunnah terlebih dahulu, setelah usai shalat sunnah berdirilah Ustadz Fathurr, “Luruskan dan rapatkan barisannya, khusyu’lah seakan ini shalat terakhir bagi kita” Ucapnya, beliau memang suka menggunakan bahasa Indonesia ketika memerintah meluruskan barisan shalat, karena banyak warga sekitar yang ikut shalat berjama’ah di sana. Setelah barisannya rapi, barulah Ustadz Fathur menuruh salah seorang santri untuk mengumandangkan iqomah. Dan mereka melaksankan Shalat Shubuh dengan penuh kekhusyuan.

Seusai Shalat para santri seperti biasa wirid & berdzikir kepada Allah Ta’ala, sesuai dengan yang diajarkan di pesantren Nurul Hikmah, sudah tentu mengikuti wirid dan dzikir yang diajarkan Rasulullah ﷺ.

Setelah semuanya selesai mereka bubar, pergi ke kamar masing-masing untuk mengambil kitab yang dipelajari pagi itu dan berangkat ke ruang kelas masing-masing.

“Aladin, sekarang kita pelajaran apa?” tanya Ikhsan.

“Parah kamu San, sudah hampir lima bulan kita di sini, kamu belum hafal jadawal, pokonya setelah shubuh kita belajar nahwu shorof San, inget itu!” jawab Aladin sedikit menegur.

“Ya aku kan menghafal pelajaran bukan menghafal jadwal, he”

“Alah alesan kamu San, makannya kalau ambil kitab jangan nitip temen, ambil sendiri, biar hafal jawal tuh” Timpal Syamsul menasihati Ikhsan.

“Yuk berangkat, nanti keduluan lagi sama Ustadz Fathurr, bisa-bisa kena hukum lagi aku” Ajak Aladin kepada mereka, takut dihukum lagi.

Karena memang di pesantren juga dididik agar santri datang lebih dulu ke ruang belajar, suapaya Ustadz tidak menunggu.

Mereka pun sampai di kelas, beruntung Ustadz Fathur belum datang ke kelas. Di antara mereka ada yang menunggu Ustadz Fathur dengan mengulang pelajaran kemarin, ada juga yang mengobrol, bahkan ada juga yang tertidur di atas meje mereka.

Akhirnya Ustadz Fathurr datang, “Assalamu’alaikum”

Diary JasmineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang