Master Room, 5th floor
Alice membuka matanya dan merasakan kepalanya berputar. Ia mengedip-ngedipkan matanya sambil memutar ulang peristiwa yang terjadi di otaknya. Ruangan rahasia, wanita gila berdarah dingin, dan
Daniel
Alice memejamkan matanya lagi, mengaduk-aduk perasaannya. Entah apa yang dirasakannya sekarang ini. Kecewa, becampur marah, bercampur sedih, dan campuran perasaan lainnya. Alice mendesah. Ia ingin mendekap wajahnya namun kedua tangannya tidak bisa digerakkan. Alice menoleh kiri dan kanan dan menyadari kedua lengannya direntangkan dan diikat dengan benang ke langit-langit ruangan.
Ia seperti boneka tali hidup.
Alice memberontak semampunya namun usaha itu justru membuat goresan akibat benang yang tipis dan tegang, berfungsi sebagai kawat pemotong daging yang menyakitkan.
Selain itu, ada satu hal lagi yang baru disadari Alice. Ia tidak lagi memakai gaun biru muda yang berat dan compang camping di cakari para Mary, melainkan gaun putih yang dijahit asal-asalan. Gaun putih yang mengembang seperti busa di bagian roknya dan di bagian dada berupa kain putih yang dililitkan berkali-kali sampai tertutup sempurna. Dan di kepalanya, sebuah kerudung putih.
Ini adalah gaun pengantin. Gaun pengantin terjelek yang pernah dilihatnya.
Alice mencoba mencerna apa yang tejadi pada dirinya. Tapi semakin lama ia bertanya, semakin sulit ia menjawab. Lalu ia mendengar suara derap sepatu yang mulai familier di telinganya.
Wanita itu.
Alice menutup matanya, pura-pura masih tidak sadarkan diri. Dia tidak ingin berbicara lagi dengan wanita berdarah dingin itu. Tidak sepatah katapun. Bunyi pintu terbuka, Alice memasang telinga.
"Oh kulihat kau sudah menyiapkannya Vivian" suara yang serak seakan-akan orang itu perlu menarik udara tiap kali ia bicara.
"Ya, Master" jawab wanita gila itu yang sudah tidak terdengar gila lagi. Dia terdengar seperti seekor anak anjing yang baru bertemu majikannya. Manis namun menyebalkan.
"Tinggalkan ruangan ini" suara serak itu memerintah.
Hening sejenak, lalu wanita bernama Vivian itu menjawab
"Tapi, Sir.."
"Kubilang tinggalkan ruangan ini!"
Vivian terdiam lagi, lalu terdengar suara pintu yang dibanting. Pasti dia tidak senang sudah dibentak seperti itu, pikir Alice masih mengatupkan kedua kelopak matanya erat-erat. Ia sudah tergoda untuk memgintip namun ragu, tidak yakin apakah itu keputusan yang bagus.
"Aku tahu kau mendengarkan" kata si suara serak itu akhirnya.
Alice mulai mendongak dan membuka kedua matanya perlahan. Ketika penglihatannya terbuka sempurna, Alice menahan napas melihat sosok di hadapannya. Seorang pria tua, bungkuk, mengenakan setelan yang necis namun sudah kusam seakan-akan tidak pernah diganti. Mungkin memang tidak pernah.
Rambut putihnya mencuat-cuat tidak rapi di atas kepalanya yang mulai botak dan keriput. Mulutnya tertekuk dan hidungnya yang bengkok melengkapi tampangnya yang mengerikan. Alice sampai harus mengeraskan rahangnya agar ia tidak terlihat ketakutan dan gemetar.
Sebuah tongkat dipegang pria tua itu untuk membantunya berjalan. Bahkan untuk berdiri. Jadi, dialah yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi di tempat ini. Sang Mastermind, yang selalu disebut-sebut oleh Daniel.
Mengingat nama itu, hati kecil Alice merengut.
"Halo Mary"
Alice mengangkat dagunya sedikit, menunjukkan sikap angkuh.
"Siapa kau?" Desisnya
"Oh, dear, kukira kita sudah berkenalan sejak lama"
"Itu bukan jawaban" kata Alice lagi, nada suaranya sudah dibuatnya agar terdengar sinis.
"Kau tahu siapa aku. Dan aku juga tahu siapa kau" jawab pria tua itu.
"Aku biasa dipanggil Master di tempat ini, Dokter di tempat lain, Tuhan bagi beberapa orang dan kau... Kau memanggilku Ayah" lanjutnya lagi. Alice merasa ingin muntah. Ada keheningan lama di antara mereka. Mungkin pria itu menunggu agar Alice melembut, tapi Alice tidak sudi mengakui monster di depannya sebagai ayah.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Alice akhirnya.
"Segalanya"
"Sebutkan"
"Kau menyayangiku sebagaimana aku menyayangimu"
Alice mendengus. Menyayangi pria tua ini? Mustahil. Tapi mungkin kalimat ini bisa dimanfaatkan.
"Kalau kau menyayangiku, lepaskan aku" tantang Alice.
"Lalu kau akan melarikan diri. Tidak bisa"
Alice tidak membalas. Ia membuang muka dengan kesal dan matanya berputar mencari cara untuk bisa lolos. Si Ayah tampaknya menyadari tingkah laku Alice, jadi ia mengalihkan perhatiannya.
"Dengar Mary, dulu kita sepakat bukan? Kau adalah Maryku yang sempurna. Putri kecilku. Kau dan aku melawan dunia. Lagipula kalau aku melepaskanmu, kemana kau akan pergi?"
Alice mendelik ke arah Ayah. Ternyata dari dialah semua sumber kegilaan di rumah megah ini. Alasan kenapa semua orang memanggilnya Mary.
"Aku akan pulang"
"Disinilah rumahmu"
"Pulang ke keluargaku" lanjut Alice, tidak menggubris perkataan terakhir Ayah.
Lalu pria itu tertawa. Terbahak-bahak sampai ludahnya terlempar dari bibirnya yang keriput. Tongkat di tangannya sampai gemetar dan terbungkuk-bungkuk akibat tawa yang dilontarkan. Alice berharap Ayah akan tersedak air liurnya sendiri sampai mati, tapi tak lama kemudian pria itu berhenti tertawa dan menatap Alice tajam.
"Kau pikir masih ada orang di luar yang mencintaimu seperti aku?!" Suaranya menggelegar di seluruh penjuru ruangan.
"Mereka membuangmu! Meyakitimu! Dan akulah yang menyelamatkanmu! Membuatmu kembali sempurna! Mary kecilku yang sempurna.." Ayah menyentuh pipi Alice yang pucat, gadis itu menjauh dan menggeram.
"Namaku Alice"
Ayah terdiam. Ia memandang Alice dengan sangat lama, sampai Alice mengira bahwa pria tua itu sudah membatu. Lalu Ayah menyipitkan matanya dan menunjuk wajah Alice dengan tegas.
"Oh. Kau." Ia berbisik.
"Aku sudah menyiapkan sesuatu yang spesial apabila hal ini terjadi" Ayah berbalik, menuju sebuah rak besar yang terletak di ujung ruangan. Mengobrak abriknya dan mengeluarkan sebuah suntik berisi cairan abu-abu kental.
Alice mulai panik. Apapun itu, ia tidak ingin cairan itu masuk ke tubuhnya. Ia mulai meronta sampai tangannya kembali teriris-iris
"Tenanglah manis, semuanya akan kembali seperti semula. Semua akan baik-baik saja" pria itu menghunuskan jarum suntik ke salah satu lengan Alice.
Awalnya panas. Lalu sakit. Menjalar ke seluruh saraf di tubuh gadis itu. Dari lengan bermuara ke dadanya dan berakhir di otaknya. Alice menjerit-jerit kesakitan, kepanasan, berteriak-teriak kalimat yang sulit dimengerti. Seluruh badannya berguncang membuat luka irisan di sekujur lengannya semakin tergali dalam. Darah menetes ke atas gaun putihnya membuat gaun itu terlihat seperti habis terkena hujan merah.
Pria tua itu berdiri disana. Bersandar pada tongkatnya. Mengamati. Berbisik
"Ayah ada disini"

KAMU SEDANG MEMBACA
MALICE
Misterio / SuspensoAlice terbangun di sebuah ruangan yang gelap dan asing Begitu ia melangkah Ia mendapati dirinya berada dalam situasi yang sangat berbahaya Dan gila. (❗️Trigger Warning : This story contains violence, cutting, suicide attempt and description that ma...