Master Room, 5th Floor
Alice merasa mual dan berjuang menahan isi perutnya tetap pada tempatnya. Pria tua mengerikan itu berjalan perlahan, mengetukkan tongkatnya ke lantai setiap langkah yang ia ambil menimbulkan bunyi ketukan teratur yang berdengung di telinga gadis itu.
"Aku adalah dia..." Gumam Alice pelan, menerawang ke lantai marmer yang berkilat-kilat memantulkan cahaya api dari lilin-lilin di dalam ruangan.
"Aku dan Maia..."
Kepala Alice terasa berat saat dia menghubungkan setiap titik yang ada. Dia ingat masa kecilnya, sebagai Maia sampai pada titik dimana ia menyerah dan meminta bantuan Alice, dirinya yang lain. Ia tidak hanya memiliki satu melainkan dua pribadi terperangkap dalam tubuhnya. Selama ini Alice hanya berada di balik layar, melihat Maia yang menjalani hidupnya. Alice bahkan tidak ingat kapan ia muncul. Ia bahkan tidak tahu mana yang benar. Dirinya atau Maia. Siapa yang nyata siapa yang tidak? Kepalanya sakit memikirkan kemungkinan itu.
"Mary..." Ayah memanggil, membuat Alice merengutkan wajahnya. Satu hal yang ingin ia hindari adalah menghadapi masalah dengan pria tua ini.
"Apa lagi yang kau inginkan?!" Bentak Alice, frustrasi.
"Oh Mary kecilku, bukankah kau sudah ingat? Betapa dekat kita sebelumnya, betapa kau mencintaiku?" Ia mendesah, mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Alice yang pucat kemerahan akibat emosi yang ditahannya.
"Dan aku ingat bagaimana kau menyiksaku, maksudku Maia, maksudku.. Entahlah!" Alice kesulitan menggambarkan situasinya, ia sendiri tidak yakin apakah ia masih adalah Maia.
"Aku hanya ingin kau sempurna" bisik Ayah, meneteskan air liur sembari mengatakannya akibat giginya yang mungkin sudah tidak lengkap lagi.
"Kenapa Maia? Kenapa..." Alice menghela napas sebelum melanjutkan "aku?"
Otot-otot tampak menegang di balik wajah keriput pria itu. Ia menelan ludah beberapa kali sebelum memutuskan untuk bicara. Selama keheningan itu, Alice bisa merasakan rasa sakit di lengannya semakin menjadi-jadi.
"Dia pulang suatu hari sambil menangis" akhirnya Ayah bersuara.
Alice menunggu ia melanjutkan.
"Lama-lama tidak hanya menangis, melainkan luka-luka di tubuhnya, gaun yang kotor atau robek. Mereka menganggunya. Karena dia..."
Alice mulai kesal dengan permainan kata pengganti individu ini. Siapa yang dia maksudkan? Apa yang ia bicarakan? Ia menatap mata Ayah yang hitam pekat, kosong, seakan-akan tidak ada perasaan apa-apa. Ia bahkan bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata yang dingin itu.
Berdarah-darah, pucat, dan rambut pirang yang lembap yang...
Mirip dengan gadis yang ada di potret di ruang makan lantai tiga dan yang ada di altar ruang rahasia lantai dasar.
Tentu saja. Ia membicarakan gadis itu. Mary yang asli. Mary putrinya.
"Ia gila?" Alice merangkum seluruh penjelasan Ayah dalam bentuk pertanyaan karena ia sendiri tidak yakin.
Ayah mendekat dan menjambak poni pirang Alice dengan kasar, membuat gadis itu berjengit.
"Tidak! Tidak sempurna! Itu saja! Ia...ia.. Tidak sempurna... Ya.. Itu saja" laki-laki itu mulai melembut lagi.
"Aku tahu selama ini ada yang berbeda dari dirinya. Pada suatu malam ia menghampiriku, tampak ketakutan. Katanya ada seseorang yang menganggu tidurnya. Tidak mau meninggalkannya sendiri. Ia mulai menjerit-jerit sendirian, melakukan hal-hal aneh. Ia rusak. Mary kecilku rusak" gumam pria itu sedih.

KAMU SEDANG MEMBACA
MALICE
Misterio / SuspensoAlice terbangun di sebuah ruangan yang gelap dan asing Begitu ia melangkah Ia mendapati dirinya berada dalam situasi yang sangat berbahaya Dan gila. (❗️Trigger Warning : This story contains violence, cutting, suicide attempt and description that ma...