Break

502 38 6
                                    

Office Room, 2nd Floor

Alice mengerjap-ngerjapkan matanya. Menyesuaikan dengan keremangan di sekitarnya. Ia bangkit mengambil posisi duduk dan menyadari ia berada di sofa panjang. Ia menerawang ke seluruh ruangan yang kecil, hanya berisikan sebuah meja kerja yang di sandarkan di pintu, dua rak buku tinggi, dua buah lampu berdiri dan sofa panjang tempat Alice duduk.

"Kau sudah sadar?" Suara Daniel mengejutkan Alice.

"Apa yang terjadi?" Tanya Alice bingung.

"Kau pingsan. Mungkin kelelahan dan ketakutan. Jadi, kubawa kau ke sini agar bisa beristirahat sedikit" jawab Daniel.

"Darimana kau tahu tempat ini bisa dipakai untuk beristirahat?"

Daniel tidak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebatang cokelat. "Tadi kutemukan di meja kerja"

"Kau yakin ini tidak beracun? Atau kadaluarsa?" Kata Alice sangsi. Daniel mengangguk pasti. "Aku sudah makan satu tadi" katanya.

Alice pun menerima cokelat batangan itu dan melahapnya. Setelah beristirahat dan mengumpulkan tenaga seperti ini, Alice baru menyadari betapa banyaknya energi yang terkuras semenjak ia menjelajahi tempat aneh ini.

Ia menatap Daniel yang sedang duduk di lantai. Menulis sesuatu dengan jarinya di karpet berwarna hijau tua yang sudah usang dan berbau tidak sedap. Tubuhnya bergerak maju mundur secara teratur dan matanya berkedut-kedut tegang. Alice langsung mengerti bahwa Daniel sedang mengatasi gelombang gangguan jiwa yang datang. Ia butuh pengalih perhatian.

"Hei" panggil Alice. Daniel menghentikan kegiatannya dan menoleh.
"Anu..kau bilang aku tidak akan pernah bisa kabur sendirian kan? Bagaimana kau tahu kalau kita berdua juga bisa melarikan diri dari sini?" Tanya Alice.

Daniel tidak langsung menjawab. Ia mengangkat bahunya sedikit dan menatap kosong ke depan. Lalu ia bersuara
"Aku sudah pernah mencobanya. Kami nyaris berhasil"

Alice terkejut mendengar jawabannya. Hampir berhasil? Dengan siapa? Dimana dia sekarang? Alice masih memiliki banyak pertanyaan lainnya namun ia memulai dari siapa teman sepelarian Daniel waktu itu.

"Namanya Maia" kata Daniel pelan-pelan. "Aku tidak ingat terlalu banyak tentang dia, selain rambutnya yang berwarna cokelat gelap dan dipotong pendek."

Ia terdiam dan Alice menunggu dengan sabar.

"Waktu itu aku terbangun di sebuah ruangan yang sangat mengerikan. Aku tidak ingat kenapa aku bisa sampai disitu. Ruangan itu dipenuhi dengan kandang-kandang kecil untuk binatang dan kami dimasukkan ke dalamnya. Manusia. Anak-anak. Entah apalagi, berteriak-teriak, mengamuk, terganggu. Bau amis menyebar ke seluruh ruangan dan dia ada disana. Di kandang sebelah. Meringkuk dan gemetar."

Alice memejamkan mata, membayangkan situasi yang dideskripsikan dan akhirnya merasa mual dan ingin muntah. Daniel melanjutkan

"Kami mulai berteman. Tidak banyak bercerita. Kami hanya saling bertukar pandang dan kadang-kadang sepotong roti atau tulang ayam yang menjadi santapan kami. Lalu suatu hari, Mary yang bertugas mengantarkan makanan lupa mengunci kandangnya. Ia keluar dan mengeluarkanku juga. Kami melarikan diri. Dan menemukan ruangan ini untuk bersembunyi"

Alice masih belum mengerti apa masalahnya. Kenapa mereka melarikan diri dan dari siapa. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah kata singkat

"Lalu?"

"Lalu kami menyusun rencana. Apabila kami berhasil lolos, apakah yang akan kami lakukan. Ia akan mencari keluarganya sedangkan aku.. Aku tidak yakin aku punya keluarga"

Suara kuku menggaruk karpet terdengar jelas dari tangan Daniel. Alice memperhatikannya dengan waspada. Membaca tiap emosi yang terlintas di wajah pria itu,

"Membicarakan hal itu membuatnya tersenyum sedikit. Walaupun sebentar tapi aku senang melihat senyumnya"

Entah kenapa perasaan Alice tidak suka mendengarnya. Ia berkata dengan gusar "lalu dimana si Maia ini sekarang?"

Pertanyaan itu menghunus langsung ke otak Daniel. Adegan demi adegan terulang kembali di memorinya. Kukunya beradu denga karpet semakin kuat. Ia menceritakan kejadian selanjutnya dengan suara gemetar, saat mereka sudah tiba di pintu depan dan menyentuh gagang pintunya, ia datang. Menyergap mereka, menghukum mereka. Daniel hampir kehilangan nyawanya dengan sebilah kapak yang hampir menerjang lehernya kalau Maia tidak berteriak, memohon dia untuk berhenti. Lalu dia bergerak, menghampiri Maia yang gemetar ketakutan namun matanya memancarkan keberanian. Otot-otot wajah Daniel menegang sekarang. Ia tertunduk, tidak sanggup menyelasaikan ceritanya.

Alice mengerti hal yang terjadi selanjutnya. 'Dia' membunuhnya. 'Dia' menghabisi seseorang yang pernah ada di hidup pemuda di depannya. 'Dia' yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi di mansion ini.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Alice prihatin melihat Daniel yang terluka. Luka lama yang belum kering. Masih berdarah, tidak secara fisik melainkan emosional. Alice kagum dengan Daniel yang masih berpegang teguh pada kewarasannya.

"Ya... Dialah yang membuatku bertahan. Motivasiku" Daniel seakan-akan bisa mengetahui pikiran Alice dan menjawab. Alice mencoba tersenyum walaupun kalimat barusan membuat dadanya terasa pedih.

Daniel menatap Alice beberapa saat dan menautkan alisnya. Menunjukan kemarahan yang disebabkan oleh senyuman di wajah gadis itu. Perasaan itu datang dan surut dalam sekejap.

"Ya... Ingatan tentang Maia membuatku tetap waras. Walaupun sudah setahun.. Tidak.. Dua tahun berlalu. Waktu itu aku belum sebesar ini" oceh Daniel.

"Tunggu. Kau sudah dua tahun disini?!" Pekik Alice tertahan

"Ya... 'Dia' tidak membiarkanku pergi begitu saja. Atau mati. Tidak. 'Dia' menahanku disini. Menahan tubuhku dan jiwaku"

"Apa sebenarnya yang 'dia' lakukan?"

Daniel mengangkat bahu dengan gusar. "Cukup ceritanya sampai disini saja. Ayo kita lanjutkan usaha kita keluar dari tempat ini"

Alice berdiri dengan enggan. Ia merasa kalau pemuda ini menyembunyikan sesuatu.

Dan Alice akan mencari tahu.

MALICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang