Wedding

467 43 1
                                    

Master Room, 5th Floor

Darah masih menetes satu per satu menuju gaun putih mengembang milik Alice. Tubuhnya bergoyang maju mundur, berayun perlahan memasuki dunia yang menyakitkan. Namun sekaligus menenangkan. Lengannya mulai teriris lebih dalam dari sebelumnya, dan ia mulai bergoyang lebih cepat.

Rasa sakitnya membuat pikiran Alice teralihkan dari perasaannya. Ayah sudah meninggalkan ruangan beberapa menit yang lalu, dengan alasan masih banyak yang perlu diurus. Alice ditinggalkan begitu saja dan awalnya ia mulai kalut. Meronta-ronta untuk melepaskan diri dan mencoba kabur.

Tapi lama kelamaan, rasa sakit itu berubah nyaman. Alice mulai menikmati tiap tekanan tajam yang diberikan dan tiap cairan merah yang keluar dari dirinya. Mungkin ia bisa mati kehabisan darah. Mungkin itulah yang diinginkannya.

Pintu terbuka dan Alice mengenali langkah-langkah yang berbunyi yang ditimbulkan oleh sepatu berhak tinggi milik wanita itu.

"Halo, Mary yang Sempurna" ia mendesis di telinga Alice membuat gadis itu bergidik.

Ia tidak menjawab dan masih terus berayun dengan tempo lebih cepat. Mungkin ini kesempatan terakhirnya untuk mengakhiri...

"Lihat apa yang sudah kau perbuat! Kau mengotori hasil karya tanganku!" Bentak Vivian dilanjutkan tamparan keras di pipi Alice.

Anehnya, tubuh Alice mulai terbiasa dengan segala kekerasan yang ada. Atau bisa juga disebabkan darah mulai berkurang dari saraf-sarafnya. Membuatnya mati rasa.

"Hentikan itu" lanjut Vivian ketika melihat gadis itu masih berayun. Ia melonggarkan ikatan di tiap lengan Alice agar tidak lagi menimbulkan bahaya berarti bagi Alice.

"Biarkan aku mati!" Alice berteriak, mencoba mencengkeram lengan wanita itu.

"Kau membenciku kan? Biarkan aku mati!"

Alih-alih balas mengamuk, wanita itu tersenyum dengan wajah yang tidak menyenangkan.

"Bukan begitu cara calon pengantin bicara"

***

Dining Hall, 3rd Floor.

Ruangan ini sudah ditata sedemikian rupa agar tampak seperti aula gereja yang siap melaksanakan sebuah upacara. Lukisan besar Mary yang asli sudah dipindahkan lebih tinggi lagi agar tidak mengganggu jalannya upacara.

Alice sendiri masih dalam keadaan tergantung dengan benang yang diganti kain agar tidak memotong tangannya lebih parah lagi. Ia berdiri di podium, tangan terentang, sementara para Mary yang duduk di bangku panjang memandanginya seperti sekumpulan boneka mengerikan.

Mungkin ada sekitar tiga puluh Mary yang diciptakan Ayah. Vivian memasuki ruangan bersama dengan pria tua itu, berjalan tertatih menuju podium tempat Alice berdiri. Ia mendengus kesal ke arah mereka, berharap ia digantung juga di leher agar tidak terlibat dalam peristiwa mengerikan ini.

Selain itu, seorang lagi merasuki pikirannya. Dimana si pengantin pria? Alice tidak tahu harus bersikap bagaimana melihat pemuda lagi. Mungkin ia sendiri akan menjadi gila dan menyerang Daniel hidup-hidup.

"Anak-anakku yang sempurna" Ayah mulai berpidato sesaat ia tiba di atas podium, di belakang Alice yang masih tergantung menunggu nasibnya. Vivian berdiri di sebelah Ayah sambil menyeringai, senang mendapat tempat di sebelah tuannya.

"Sekarang ini kita akan menyaksikan kebahagiaan yang sempurna"

Alice menelan ludah dengan jijik. Obsesi pria tua ini mengenai kesempurnaan memang tidak bisa dibilang wajar.

"Saat Mary.." Ia melihat Alice dengan tatapan menjijikan "..Maryku yang sempurna"

Alice merasakan jantungnya berdegup kencang.

MALICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang