Main Entrance, 1st floor
Alice mengguncang-guncang gagang pintu dengan putus asa. Dia sudah tahu pintu utama masih terkunci namun ia tidak bisa menyerah begitu saja. Tidak dengan cara seperti ini. Ia sudah berjuang menyelamatkan dirinya, ia tidak menerima ini adalah akhir bagi dirinya.
Suara pintu digebrak berbunyi kuat ketika Alice membanting punggungnya dan merosot perlahan ke lantai. Ia sangat frustrasi sekarang, mengelus-elus lengannya yang teriris-iris.
"Bagaimana sekarang hah Maia? Kau menyerahkan situasi menyebalkan ini begitu saja padaku dan berharap aku menyelesaikannya sendiri ya?" Alice mengomel pada dirinya sendiri, atau tepatnya pada dirinya yang lain.
Ia menelungkupkan wajahnya ke kedua lututnya. Perlahan-lahan menyerah pada kenyataan. Ia bisa saja mencari cara untuk menghabisi dirinya saat ini juga namun tubuhnya menolak untuk bergerak.
Ia menengadah, memandang kumpulan lilin-lilin yang tidak pernah habis yang tergantung sebagai lampu hias di langit-langit ruangan. Setelah diperhatikan lebih jauh, lampu lilin itu tidak sekedar digantung begitu saja namun digantung oleh alat semacam katrol dan ujung talinya diikatkan di salah satu dinding di seberang tangga. Alice juga baru menyadari bahwa dinding-dinding ini dilapisi dengan kain raksasa seperti tirai yang membuat lantai dasar ini terlihat mewah.
Alice tidak tahu apa yang membuat para Mary belum mengejarnya sampai detik ini. Lalu ia melihat seorang, atau lebih mirip sosok yang sedikit transparan sedang menatapnya dari balik tangga.
Ia berdiri, memakai gaun biru yang lembut dan rambutnya yang panjang terjuntai halus sampai ke punggungnya. Di atas kepalanya terikat pita biru yang mempermanis penampilannya. Alice mengenalinya.
"Mary..." Bisiknya.
Mary tidak bersuara maupun berekspresi. Ia hanya menatap Alice, menunggu reaksi gadis itu. Begitu Alice bangkit, berdiri di atas kedua kakinya yang tersembunyi di balik gaun putih yang robek-robek, Mary bergerak ke balik tangga.
"Tunggu!" Alice mulai berlari mengikutinya.
Ia tiba di balik tangga dan melihat terowongan kecil yang tidak disadari Alice atau Daniel sebelumnnya. Ia mulai maju selangkah memasuki terowongan kecil yang ternyata hanya sedalam satu meter. Alice tiba di ujungnya dan terkesima dengan apa yang dilihatnya.
Secret Backyard, 1st Floor
Taman kecil, yang dipagari beton setinggi lima meter. Rumput-rumput liar sudah merambat disana dan disini namun bunga-bunga yang dihasilkan rumpun tersebut justru mempermanis pemandangannya. Selain itu, ada satu hal yang menarik perhatian Alice.
Sebuah tugu malaikat kecil berdiri di tengah-tengah taman. Sebuah plakat terpampang rapi di bawahnya. Alice sedikit kesulitan membacanya akibat lumut yang mulai menutupi tulisannya.
Disini terbaring ___ ____ngan
Mary _____ S____Hanya itu yang bisa dibaca Alice. Ia mengelus pelan tugu yang ternyata sebuah nisan itu. Ia merasakan kesedihan yang ganjil begitu mengetahui bahwa disinilah Mary yang sesungguhnya terbaring. Bebas tapi tidak bisa pergi. Alice mengelus plakat namanya dan merasakan plakat itu terangkat sedikit.
Tertegun, Alice mencoba lagi. Plakat namanya ternyata berupa kotak rahasia. Sebuah kunci perak besar tergeletak rapi di dalamnya. Alice mengambilnya. Lalu ia bersorak.
Ini dia! Batinnya semangat. Ini kuncinya! Alice menggemgam kunci itu erat-erat, membungkuk penuh terima kasih pada Mary yang ia yakini ada disana. Menolongnya. Alice berbalik kembali ke dalam mansion, menuju pintu ketika ia melihat Daniel berlari menghampirinya dari tangga.
Alice berhenti berlari dan mengambil beberapa jarak aman di antara mereka.
"Tenanglah. Ini aku" kata Daniel sembari menggulung lengan bajunya, menampilkan luka jahitan yang membuktikan kalau dia adalah Daniel yang asli. Di tangannya yang satu lagi, ia memegang gunting separuh yang menjadi senjata mereka.
Alice masih memeluk kunci di kedua kepalan tangannya "Aku tahu, aku menemukan kunci pintu utama"
"Benarkah? Bagus! Berikan padaku, Alice" katanya cepat, mengulurkan tangannya.
Alice meragu. Tangannya berhenti di udara ketika ia hendak menyerahkan kunci itu pada Daniel. Ia menariknya lagi lalu menggeleng cepat.
"Kenapa? Ayo berikan"
"Tidak. Tidak sebelum kau menjawab pertanyaanku" Alice masih mencengkeram kunci perak itu di dadanya.
"Aku akan menjawab semua pertanyaanmu ketika kita sudah diluar sana!" Seru Daniel mulai tidak sabar. "Mereka segera datang nanti"
"Aku ingat semuanya" Alice tidak menggubris ocehan Daniel.
"Apa maksudmu?!" Daniel nyaris berteriak
"Kalau aku Maia!" Balas Alice tidak kalah sengit.
Keheningan singkat memenuhi keduanya. Daniel terlihat tidak tenang. Ia bergerak maju mundur, mengayunkan senjatanya pelan.
"Kenapa kau tidak memberitahuku? Kau sudah tahu kan?! Kenapa?!" Alice mulai histeris. Mengambil beberapa langkah untuk menjauh.
"Tenang dulu..." Daniel mencoba menyebutkan sesuatu namun membatalkannya. Alice menebak pemuda itu bingung memanggilnya bagaimana.
"Aku punya alasannya. Tapi, kumohon biarkan kita keluar dari sini dulu. Aku janji aku akan menceritakan semuanya"
Alice kembali menggeleng dengan tegas " Tidak! Aku mau sekarang! Aku sudah tidak tahu lagi siapa yang harus kupercayai" ia meringis, matanya mulai berkaca-kaca akibat emosi yang meluap-luap.
"Baik. Baik!" Daniel maju menghampiri Alice yang menunjukan pertahanan diri.
"Aku punya dua alasan. Satu, aku menyangka kau hanyalah salah satu percobaannya. Yang dibuat mirip dengan Maia untuk mempermainkan aku. Yang kedua.." Ia menelan ludah sebentar lalu melanjutkan "..aku tidak ingin membuatmu panik. Atau mengira aku gila. Aku menunggu kau menyebut-nyebut soal Maia sebagai pribadimu yang lain tapi kau tak kunjung menyinggungnya. Jadi aku berasumsi kau tidak ingat atau mereka mengutak-atik pikiranmu. Intinya, aku tidak mau mengambil resiko kau ketakutan"
Alice mengerutkan keningnya, mencoba mencerna seluruh penjelasan cepat Daniel.
"Lalu bagaimana sekarang? Apa kau masih.." Alice mulai melembut "..menyukaiku?"
Daniel mengacak rambutnya sendiri dengan kesal "bisakah kita membicarakan itu di luar sana!" Ia mulai agresif dan hendak merampas kunci itu dari tangan Alice. Gadis itu menjerit dan mencakar Daniel untuk melepaskan diri. Keduanya mulai kehilangan akal sehat dan saling berteriak satu sama lain.
"Bukankah sudah kubilang mereka masih disini" suara parau berasal dari lantai dua bergema di seluruh ruangan.
Alice dan Daniel berhenti berkelahi dan memandang ke atas, ke pagar pembatas antara lantai satu dan dua, semacam balkon. Ayah dan Vivian berdiri berdampingan. Wajah Vivian terbakar rasa benci menatap keduanya.
"Hentikan aksi konyol kalian dan pikirkanlah baik-baik. Apakah kalian sungguh ingin berada di dunia luar sana? Dunia dimana kalian tidak diinginkan?" Ujar Ayah dengan tenang.
"Tentu saja kakek tua! Lebih baik daripada dipotong-potong disini" kecam Daniel sambil menyambar lengan Alice "gunakan otakmu dan buka pintu ini!"
Alice mengelak dari pegangan Daniel dan memandang pemuda itu dan Ayah bergantian.
"Ayolah Mary, kau pikir dia mau sungguh-sungguh denganmu?" Kalimat itu menghunus dada Alice dengan tajam.
Alice tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MALICE
Mystery / ThrillerAlice terbangun di sebuah ruangan yang gelap dan asing Begitu ia melangkah Ia mendapati dirinya berada dalam situasi yang sangat berbahaya Dan gila. (❗️Trigger Warning : This story contains violence, cutting, suicide attempt and description that ma...