Chapter 4: Crash of Crush

3.5K 596 241
                                    

Helow~
Ini chapternya keacak gak sih apa udah sesuai? Di laptop tuh sesuai cuma di hengpon enggak naha ya? Hm... Nanti gue cek lagi deh.

Happy reading~

---

Penampilan Rose yang lagi duduk di bangku biru Fakultas Ilmu Budaya saat ini membuat gua terbelalak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penampilan Rose yang lagi duduk di bangku biru Fakultas Ilmu Budaya saat ini membuat gua terbelalak. Setelah berhasil menyerap energi bumi dan menguasai diri, lantas satu pertanyaan terlontar buat dia. "Sayang, rambut kamu kenapa?"

Dia mengukir senyum, menampakkan jejeran gigi rapihnya yang putih seperti diberi bayclin. "Bagus gak? Aku kan udah bilang, kalau aku dapat sertifikat B1, rambutnya mau diwarnain blonde kayak gini. Teh Alice bilang ini bagus."

Bagus sih, memang harus gua akui ini bagus. I mean, she will slay every colour because she is Rose. Anak-anak Sastra Inggris memang ada beberapa yang ngewarnain rambut mereka, tapi jujur aja gua sedikit berharap kalau Rose tetep dengan warna rambut gelapnya. Soalnya kalau rambut dia blonde kayak gini, dia jadi kelihatan makin shining, shimmering, splendid dan gua khawatir makin banyak cowok di luar sana yang jatuh hati sama Rose. Bukan karena gua takut tersaingi-secara muka ganteng kayak gini kan limited edition, gua cuma enggak begitu suka Rose dijadikan sebagai objek tatapan cowok-cowok dengan pikiran ngeres.

"Kirain kamu lupa. Soalnya kan sertifikatnya udah keluar sejak bulan lalu," cetus gua sambil duduk di depan Rose.

Rose cemberut. "Ih aku nanya bagus apa enggak malah ngomong yang lain."

"Iya bagus, bagus banget. Cantik mirip idol Korea," kata gua sambil nyubit pipi Rose pelan.

"Kalau aku keramas, warnanya bakalan luntur kok." Rose ngomong sambil megangin rambutnya. "Aku mau lihat dulu ekspresi kamu. Kalau sekiranya kamu kelihatan suka banget, aku bakalan ganti warna rambut jadi blonde. Kalau biasa aja, aku stay pakai warna hitam aja."

Ekspresi gua menekuk. "Eh? Kok gitu? Santai aja, nggak usah mikirin aku. Itu kan rambut kamu. Aku fine-fine aja kok, serius deh."

"Ya aku harus mikirin lah. Kamu kan pacar aku." Dia senyum, matanya merem, bikin mau meluk tapi enggak enak karena ini masih di lingkungan kampus. Alhasil gua cuma ikut senyum sambil diam-diam muji dia.

Kalau masih di kampus, gua menyandang tiga status sekaligus: sebagai pacar Rose, sebagai mahasiswa, dan sebagai Ketua BEM KEMA. Sebagai Ketua BEM, gua diharapkan bisa menjadi orang yang tegas dan jadi contoh buat mahasiswa lain. Berat memang, untungnya gua dapat banyak dukungan dari pacar, keluarga, dan temen-temen dekat. Ngomong-ngomong pacar, hari ini Rose lagi manja banget-lebih manja maksudnya. Padahal dia jarang banget mau disamperin ke FIB dengan alasan enggak mau kelihatan bucin dan ngebuat citra Jeffrey si Kabem idaman tercoreng. Padahal gua biasa aja. Masa juga gua harus mengorbankan Rose cuma demi titel yang baru didapat beberapa bulan lalu. Dia itu terlalu mahal dan berharga buat dituker dengan apapun.

Bandung, I'm in Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang