Chapter 2: Dago Atas

6.8K 749 163
                                    

Akhir-akhir ini gue semakin random kayaknya. Dan karena cerita yang seharusnya gue publish malem ini belum kelar diedit, jadi gue ngepublish yang ada dulu aja. Oke. Selamat membaca~

---

Sambil duduk di kursi ruang tamu Papah Surya, fokus gue tertuju pada Teh Alice selaku calon kakak ipar yang sedang menerangkan aib adiknya sendiri dengan semangat menggebu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sambil duduk di kursi ruang tamu Papah Surya, fokus gue tertuju pada Teh Alice selaku calon kakak ipar yang sedang menerangkan aib adiknya sendiri dengan semangat menggebu. Tiap ketemu, dia pasti menceritakan aib Rose yang paling baru sampai perut gua sakit karena terlalu banyak ketawa. Orang yang lagi dijadiin bahan ghibah biasanya cuma teriak dan bilang enggak-enggak aja.

"Terus ya Jeff, kemarin dia dia lari-lari dari kamarnya ke kamar mandi belakang. Tahu enggak alasannya karena apa?" pertanyaan Teh Alice gua jawab dengan gelengan kepala. "Karena dia mau berak! Padahal kan di kamarnya juga ada kamar mandi, kenapa gak berak di situ aja coba? Dia telponan sama kamu semalam itu sambil ngeden terus—"

"Teh Alice!" pekik Rose yang berdiri menatap kami sambil berkacak pinggang. Dia mengenakan sweater putih rajut panjang yang dipadukan dengan skinny jeans yang sukses membuat gua terpana—she always amazes me no matter what. "Jangan ngada-ngada deh. Jeffrey juga percaya aja. Udah tahu Teh Alice itu suka bercanda."

"Kalau bohong mana mungkin kamu teriak-teriak nggak terima kayak Lucinta Love kan?" balas Teh Alice sengit banget kayak petasan pas malem lebaran.

"Kilii bihing mini mingkin kimi tiriik-tiriik nggik tirimi kiyik Licinti Livi kin?" Rose mencibir. Bibirnya maju-maju ke depan gitu, malah keliatan makin gemesin.

"Jelek banget ya dia, Jeff?" bisikan Teh Alice cuma gua balas tawa pelan. Ya kali makhluk kayak Rose dibilang jelek. Terlebih dia nanyaian sama Jeffrey Athalla si bucin Rose nomor satu. Mana bisa dipercaya jawabannya.

"Teh Alice katanya cuma mau nyapa bentar terus lanjut belajar. Tapi kok lama banget sih ngobrolnya?" protes Rose keras. Dia udah nyamperin dan duduk tepat di samping gua. Mepet banget seolah badan kami itu ada magnetnya.

"Ya suruh siapa kamu belum mandi pas Jeffrey dateng? Malah guling-guling terus kayak nangka jatoh di kebun engking." Teh Alice balas mencibir. Lucu ya punya saudara. Anak tunggal kayak gua mana paham.

"Bodo amat," ujar Rose sambil meletin lidah. "Aku berangkat dulu ya. Pah, mah, adek berangkat dulu yaa!!"

"Cempreng! Nggak usah teriak kan bisa!" sergah Teh Alice masih nutupin kedua telinganya. Gua pura-pura santai, senyum-senyum manis padahal telinga rasanya penuh juga sama teriakan Rose.

Seolah sengaja, sambil diri dan narik tangan gua, Rose nambahin, "Papah Surya, Mamah Hanum, Rose sama Jeffrey berangkat dulu! Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikum salam!" balas suara Papah Surya dari dalam. Dia pasti lagi nyiramin bunga anggreknya di taman belakang—halaman rumah Rose emang luas banget kayak kebon. "Anterin pulang sebelum jam 10 malem ya Jeff!!"

Bandung, I'm in Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang