[5] Kinjirareta Futari

106 14 5
                                    

(Dua Orang yang Terlarang)

"Buset dah cantik bener. Mau pergi kemana lo pagi-pagi gini?" Aya yang baru bangun langsung berkomentar.

Aku menguncir rambutku seperti biasa. Lalu mengalungkan tas selempang. "Ada urusan, gue pergi dulu yak."

Aku bergegas menemui Taka. Hari ini aku memakai kaus lengan pendek dan celana jeans dengan ujung sobek-sobek di atas mata kaki. Lalu aku juga membawa kemeja yang ku ikat di pinggang. Kemejaku sendiri, aku sudah tidak mau lagi repot-repot mengembalikan milik Taka. Toh, dia juga tidak mau.

Aku berjalan sambil mendengarkan musik melalui earphone menuju toko buku. Rambutku bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti irama langkah kakiku yang dibalut sneakers. Aku masuk ke dalam toko buku dan mencari keberadaan Taka. Dia berdiri dekat rak paling pojok sedang memainkan ponselnya. Aku berjalan mendekat sambil melepas earphone.

"Hei. Kau datang. Baru saja aku ingin menghubungimu."

"Mau apa kita di sini?"

"Tidak di sini. Ayo ikut aku." Dia memakai maskernya dan berjalan ke luar. Aku mengikutinya di belakang. Kurasa Taka memang tidak bisa menyetir. Kemarin saat di asrama juga dia berjalan kaki. Sudahlah, aku tidak mau tahu, bukan urusanku.

"Kau lelah? Mau kugendong?" Dia menoleh.

"Gendong matamu," umpatku dalam bahasa.

"Apa?"

"Bukan apa-apa. Masih jauh?"

"Tidak. Kita ke kedai ramen milik temanku. Maaf kau harus berjalan kaki, aku tidak bisa menyetir mobil."

Ternyata benar dia tidak bisa menyetir. "Hahaha. Santai saja. Aku tidak selemah itu. Kali ini biar aku saja yang membelikanmu makan."

"Kau baru saja tertawa?"

"Siapa yang tertawa?" Aku pura-pura bodoh.

"Lalu tadi suara apa?"

"Tidak tahu. Sudah ayo." Aku berjalan mendahuluinya.

"Tempat itu di sebelah sini. Ayo masuk." Dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam kedai yang ternyata kelewatan. Memalukan. Sudah sok tahu, salah pula.

"Biar aku yang membayar," ucapku saat dia mengeluarkan kartu debitnya. Aku menyerahkan beberapa lembar uang pada petugas kasir.

"Baru kali ini aku dibayari saat ke luar dengan wanita." Dia berceloteh saat kami sudah duduk berhadapan.

"Anggap saja ini ganti rugi uang komik waktu itu."

"Kau masih saja membahas itu." Dia tampak berfikir. "Ah, sepertinya aku harus banyak memberimu sesuatu agar kau merasa berhutang budi. Kita jadi punya alasan untuk bertemu lagi," ucapnya bangga.

"Begitu? Lalu aku akan membuang semua pemberianmu agar tidak ada alasan untukku bertemu denganmu."

"Kejam sekali."

"Kau seperti orang yang tidak ada kerjaan. Kau tidak takut berkeliaran denganku seperti ini?"

"Sepertinya kau yang takut." Dia mencebik. "Pakai masker saat ke luar denganku."

"Sudah kubilang yang kutakutkan adalah ini akan berpengaruh pada beasiswaku. Meskipun ini tidak ada kaitannya dengan kuliah, tapi tetap saja. Aku tidak mau dosenku kecewa karena aku tidak serius belajar dan malah berkeliaran. Karena itu kumohon padamu, jangan menemuiku lagi. Sudah cukup ini yang terakhir, jangan membuatku merasa berhutang budi lagi. Aku yakin kau hanya bosan di tengah sibuknya kegiatanmu. Tapi carilah orang lain yang bisa kau ajak bertemu, jangan mahasiswi sepertiku," ucapku serius.

"Dan tolong jangan berbuat semaumu, aku hanya enam bulan di sini. Biarkan aku menjalaninya dengan tenang." Aku jadi teringat sesuatu. "Aku minta maaf karena harus mengatakan ini sekarang dan tempo hari. Tapi memang ini yang terbaik," lanjutku lagi. Dia mendengarkan dan tidak menginterupsi sama sekali.

Pesanan kami datang dan aku langsung menikmatinya. Tidak mempedulikan Taka yang hanya menandangku sejak tadi, membiarkan ramen di depannya hingga tidak ada lagi asap yang mengepul di atasnya.

Ramenku sudah habis. "Kalau tidak ada yang mau kita lakukan lagi, aku akan pergi sekarang."

"Apakah harus ada alasan untuk terus bersamamu?" tanyanya. Suaranya sedikit kecewa.

"Semua hal perlu alasan." Aku berdiri dan bergegas ke luar. Membiarkan Taka yang kini menunduk menatap ramennya yang sudah dingin.

*

Aku tidak langsung kembali ke asrama setelah dari kedai tadi. Saat ini aku sedang di salah satu warnet dan fokus dengan layar komputer di depanku. Aku berencana mencari pekerjaan paruh waktu untuk mengisi waktu luangku.

Selama kuliah aku hanya mengambil kelas pagi, belum lagi kalau sedang libur seperti hari ini. Kegiatan field trip juga masih dimulai pada musim depan. Tepatnya di musim gugur. Dari pada aku hanya gabut di asrama. Lebih baik aku kerja part time.

Aku memasukkan CV yang sudah kucetak ke dalam map yang sempat kubeli tadi. Aku juga memasukkan pas foto yang selalu tersedia di dalam dompetku lalu bergegas ke family restaurant di dekat sini. Kemarin aku melihat tulisan Arubaito boshū-chū (Dicari pekerja part time) di jendela besar restaurant itu.

Sebelum masuk ke restaurant, aku melepas ikatan kemeja di pinggangku lalu memakainya. Wah, kenapa deg-degan sekali mau melamar kerja. Aku mengumpulkan keyakinan lalu melangkah masuk dengan semangat.

Aku segera menyampaikan maksud tujuanku pada petugas yang berdiri di dekat kasir. Dia menyuruhku untuk menunggu di kursi dekat jendela.

Tidak lama, seorang wanita paruh baya duduk di depanku. Dia mengenalkan diri dengan nama Michiko. Michiko-sama adalah chef sekaligus pemilik restaurant ini. Wah. Dia pasti sangat pandai masak.

Aku memperkenalkan diri dan menjelaskan latar belakangku. Michiko-sama terlihat senang saat aku mengatakan padanya bahwa aku bisa bahasa Jepang dan bahasa Inggris dengan baik. Dia memintaku untuk bekerja mulai besok. Syukurlah.

Aku hanya akan bekerja selama empat jam tiap harinya. Jadi gajinya akan dihitung per jam. Restaurant ini cukup besar, gajinya pasti lumayan untuk tambahan uang jajanku. Aku juga bisa libur saat aku ada kepentingan mendesak. Yang pasti aku tidak akan gabut lagi kalau tidak ada kelas. Aku pamit setelah berterima kasih dan membungkuk pada Michiko-sama.

Aku mampir untuk membeli kakigōri alias es serut khas Jepang yang dijual di pinggir jalan. Lalu lanjut berjalan kembali ke asrama sambil menjejalkan es ke mulutku. Sesampainya di asrama, aku mandi lalu melakukan aktivitas sejuta umat yaitu rebahan.

Teman-temanku tidak ada, entahlah ke mana mereka semua pergi. Aku menatap langit-langit kamar ini. Mataku terasa berat, aku juga sudah menguap beberapa kali. Aku mengambil bantal dan menaruhnya di bagian mataku. Kebiasaanku kalau mau tidur. Aku susah tidur dalam keadaan terang.

Saat aku berada di ambang batas kesadaran, ponselku berbunyi dan mengejutkanku. Sialan. Siapa makhluk tolol yang mengganggu tidur soreku.

Takahiro: Ada satu hal yang tidak perlu alasan. Mencintai.

Satu pesan itu sukses membuatku tidak bisa tidur hingga nyaris dini hari.

*****

Nagai Hikari | Takahiro Moriuchi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang