[6] Kinou Yori Motto Suki

108 16 4
                                    

(Dibanding Kemarin Semakin Suka)

Kuliah dan kerja paruh waktuku berjalan lancar. Syukurlah aku bisa membagi waktu sebaik mungkin. Dan tidak terasa ini sudah akhir bulan, aku akan menerima gaji pertamaku hari ini.

Aku sangat senang bisa bekerja di restaurant ini. Semua karyawan sangat membantuku cepat beradaptasi. Apalagi Michiko-sama, dia sangat baik padaku. Kalau jam kerjaku sudah usai, biasanya dia memintaku menunggunya membuat camilan untuk kumakan di asrama. Aku merasa seperti memiliki ibu.

Hari ini kami akan kedatangan tamu VIP. Jadi, pihak restaurant sangat membatasi jumlah pelanggan yang ingin makan di tempat. Aku jadi penasaran siapa tamu VIPnya. Dari tadi aku harus membersihkan area depan dan satu meja panjang, harus benar-benar bersih. Aku juga disuruh menyiapkan beberapa whisky dan sake.

Aku pergi ke belakang begitu selesai dengan pekerjaan di area depan. Aku masuk ke dalam toilet dan membenarkan ikatan rambutku yang berantakan di depan cermin. Aku baru ke luar toilet setelah touch up makeup dan menyemprotkan sedikit parfum pada seragam. Menjadi seorang waitress menuntutku untuk selalu tampil rapi dan wangi. Padahal biasanya aku peduli setan dengan penampilan.

Michiko-sama menyuruhku untuk segera mengantar makanan karena tamu VIP sudah datang. Wah. Banyak sekali yang harus di antar. Namun aku tidak akan mengantarnya sendiri. Ada waitress dan waiter lainnya yang akan membantu.

Aku nyaris menumpahkan makanan di tanganku saat melihat Taka duduk di kursi VIP, syukurlah hal itu tidak terjadi. Bisa-bisa aku tidak akan menerima gaji hari ini kalau memecahkan piring di depan pelanggan. Ternyata tamu VIPnya adalah ONE OK ROCK dan beberapa orang lain yang tidak kukenal. Mungkin mereka sedang membahas project. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu.

Taka tampak terkejut saat aku menaruh sepiring makanan di depannya. Namun dia tidak mengatakan apa pun. Kami benar-benar seperti orang yang tidak saling mengenal. Mmm, memang harusnya benar begitu.

Aku mengganti baju dan akan segera pulang karena jam kerjaku sudah selesai. Michiko-sama juga sudah memberikan gajiku bulan ini. Sepertinya aku akan mampir dulu di minimarket dan membeli camilan untuk teman-temanku.

Aku sempat melihat Taka saat berjalan ke luar restaurant. Dia sedang menikmati sakenya, bahkan sampai tidak sadar kuperhatikan. Ah, aku tidak minta diperhatikan juga. Pesan yang dikirimnya terakhir kali hanya kubiarkan terbaca. Kuharap dia baik-baik saja.

Aku masuk ke minimarket langganan dan memilih beberapa camilan untuk kubawa ke asrama. Pria di sebelahku yang sedang mengambil minuman dingin tampak mencurigakan. Dia menoleh saat merasa kuperhatikan, lalu memberikan gestur memotong leher padaku dengan tangannya.

Aku bersikap defensif saat dia berjalan melewatiku menuju kasir. Aku mengekor di belakangnya untuk mengantre. Aku baru sadar karena wajahnya tidak asing. Benar, tiap malam dia selalu ke minimarket ini dan membeli bir saat aku sedang mampir untuk beli ramen instan sepulang kerja. Dia menaruh satu kaleng bir di meja kasir dan menyerahkan sejumlah uang.

"Uangmu kurang lagi," ucap paman petugas kasir.

"Hanya kurang sepuluh yen. Aku tidak punya koin. Berikan saja ini padaku." Pria itu mengambil kaleng dan hendak berjalan ke luar namun aku menahan tangannya.

"Cari mati?" Ancam pria itu padaku. "Kalau kau mau membayarnya, bayar saja sana!" Pria itu menepis tanganku dan mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku celananya. Aku bisa melihat jari kelingkingnya yang terpotong. Yakuza? Sial.

"Tidak perlu dihiraukan, Ojou-chan! (Nona kecil) Terlalu berbahaya!" Bisik paman kasir padaku.

Aku tidak peduli. Jiwa memberontakku meronta-ronta hahaha. Aku menaruh belanjaanku di meja kasir. Kalau dipikir-pikir, aku memang cari mati. Namun ini tidak bisa dibiarkan kalau terus terjadi setiap hari. Meskipun hanya sepuluh yen, paman kasir itu akan rugi. Waktu itu kukira paman sedang berbaik hati mengikhlaskan sepuluh yen, namun kejadian itu terus berulang.

Yakuza itu menenggak bir di tangan kirinya. Sepertinya dia sedikit mabuk. Dia menodongkan pisau saat aku hendak memukul kepalanya. Tanganku sedikit tergores. Dia menggumam tidak jelas dan berjalan ke luar dengan terseok-seok.

"Akan kubayar sepuluh yen untuk pria itu. Minimarket ini ada CCTV, 'kan? Lapor saja pada polisi. Jangan dibiarkan begitu, Paman," ucapku saat yakuza itu sudah hilang dari pandangan. Aku duduk di luar setelah membayar belanjaanku. Paman kasir tadi mengikuti dan duduk di depanku.

"Kau tidak perlu melakukan itu, Nona. Sudah biasa para yakuza sekitar sini mencuri buah-buahan atau bir. Dia salah satu yang masih membayar, meski sering kurang. Tapi terima kasih sudah membelaku. Biar kuobati lukamu." Paman itu meraih tanganku dan membersihkan darah yang mengering lalu menutup lukaku dengan plester.

"Kukira Jepang sudah aman."

"Dari yakuza? Mereka masih berkeliaran di sekeliling kita tanpa disadari. Kau berjalan di keramaian pun, sudah dipastikan ada satu dua orang yakuza di sana. Namun kejahatannya sudah tidak parah seperti dulu. Tapi tetap saja, jangan sampai kau terlibat dengan mereka."

"Hahaha. Tenang saja, Paman. Terima kasih untuk plesternya. Paman hati-hati ya! Aku pulang dulu." Aku membungkuk dan berjalan menuju asrama.

Wah gila. Pengalaman berharga bisa bertemu yakuza, meskipun tadi aku sedikit takut menghadapinya. Namun kalau harus disuruh memilih, aku tidak mau lagi berurusan dengan yakuza. Sangat merepotkan.

Aku sudah sampai di asrama. Setelah menaruh kantong plastik berisi camilan di atas rak, aku bergegas naik ke ranjang. Tidak usah mandi. Malas. Aku bahkan terlalu malas mengecas ponselku yang sejak tadi mati. Tidak seperti biasanya, hari ini terasa sangat melelahkan. Aku harus segera tidur karena besok ada jadwal research meeting.

*

Paginya saat bangun tidur, kepalaku sakit sekali. Aku baru ingat semalam tidak makan apapun. Aya sudah melarangku untuk berangkat, namun aku tetap memaksakan diri. Sayang sekali kalau tidak mengikuti research meeting.

Sorenya aku masih harus bekerja. Tadi aku sudah makan namun aku memuntahkannya. Jam kerjaku sudah selesai saat Taka baru masuk ke dalam restaurant dan memesan makanan. Aku ingin sekali menyapanya namun aku mengurungkan niatku.

"Mau ke mana? Tidak kerja?" tanyanya saat berdiri di depanku. Aku suka mendengar suaranya kali ini.

"Pulang," jawabku singkat lalu berjalan ke luar. Kepalaku makin sakit. Taka mengikutiku di belakang setelah berbicara pada kasir.

"Tidak jadi makan?" tanyaku mencoba menahan keseimbangan karena tubuhku mulai limbung.

"Tidak. Aku ingin bersamamu."

Aku tidak sanggup membalas ucapannya. Aku menghentikan langkahku. Kepalaku berputar-putar dan pandanganku mulai kabur.

"Wajahmu pucat sekali. Kau baik-baik saja?!" tanyanya panik. Kurasa aku sudah mulai gila karena menyukai nada suaranya yang terdengar peduli.

Aku mencengkram lengannya, ingin mengatakan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Namun lidahku kelu dan hanya menggumam tidak jelas. Lalu semuanya gelap, namun aku bisa merasakan saat ini dia mendekapku.

*****

Nagai Hikari | Takahiro Moriuchi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang