[2] Wagamama na Nagareboshi

140 17 6
                                    

(Si Bintang Jatuh yang Egois)

"Kau tahu siapa aku dan reaksimu hanya itu?" Dia menyeringai.

"Lalu kau memintaku bereaksi bagaimana?" Aku memutar bola mata.

Dia tertawa. "Mau apa ke Jepang?"

"Kenapa kau tidak bisa berhenti mengoceh?"

Pria itu hanya mencebik lalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Aku juga tidak peduli. Melihat pemandangan di luar jendela jauh lebih baik dari pada meladeni bacotannya. Mengganggu sekali dari tadi. Makhluk kecil yang sangat percaya diri dan terlalu pecicilan. Sungguh bukan tipeku.

Aku tahu dia itu Taka. Vokalis band ONE OK ROCK. Tentu saja aku tahu, sudah kubilang aku tertarik dengan Jepang. Aku pernah mendengarkan beberapa lagunya meskipun tidak terlalu mengikuti.

Duh, aku baru ingat pesan Davin tadi.

Aku menoleh lagi pada Taka yang sedang sibuk dengan LCD di depannya. Dia kan orang Jepang. Kenapa aku bersikap tidak sopan padanya? Apalagi dia seorang yang terkenal. Bagaimana kalau nanti dia menuntutku sesampainya di sana? Bisa-bisa namaku tercoret dari beasiswa ini.

Ah, aku tidak peduli. Nanti aku akan langsung berlari saat pesawat mendarat dan kami tidak akan bertemu lagi. Namun itu tidak mungkin, posisi dudukku di dekat jendela. Setelah mendarat, aku juga harus berkumpul dulu dengan rombongan yang lain untuk bertemu perwakilan universitas Jepang.

Sial.

"Kenapa sejak tadi terus melihatku? Mau minta tanda tangan? Sini kertas dan penamu!"

"Wah kau ini benar-benar ya." Aku tertawa tanpa suara. "Kenapa kau bisa di Indonesia sendiri? Mana yang lain?"

"Kau mulai tertarik padaku ya?"

"Haesh sudahlah lupakan." Aku mengibas tangan.

"Hahaha. Bercanda, kenapa dari tadi kau emosi begitu? Hahaha. Dua hari yang lalu aku baru saja tampil di Jakarta. Dan semalam aku ketinggalan pesawat padahal sudah di bandara."

"Ha?"

"Teman-temanku dan semua staf sudah masuk ke dalam pesawat dan tidak menyadari kalau aku masih di toilet bandara. Aku jadi harus menunggu penerbangan selanjutnya. Sudahlah itu memalukan."

"Oh begitu." Aku mengangguk.

"Kau tidak bisa mengeluarkan kata yang lebih banyak saat bicara?"

Aku tidak memedulikannya alih-alih mengambil gulungan kertas di saku jaketku yang berisi informasi universitas tempatku belajar dan jadwal kegiatanku selama di sana. Tiba-tiba Taka mengambil benda itu dari tanganku.

"Kau gila?!" ucapku tanpa sadar dengan nada tinggi. Pria yang duduk di sebelah Taka dan penumpang lainnya pun menoleh ke arahku. Aku menunduk meminta maaf. Sangat memalukan.

"Bisa tidak kau diam saja sampai tiba di Jepang? Biarkan aku melakukan perjalanan ini dengan tenang," ucapku setengah berbisik.

"Oh kau mau student exchange di sini. Kampus ini dekat dengan apartemenku."

"Aku tidak bertanya."

Taka membaca kertas itu dengan serius. Sebenarnya yang kuliah aku atau dia?

"Hebat. Kau berhasil mendapat beasiswa ini. Berarti kau bisa berbahasa Jepang?" Dia mengoceh lagi.

"Memang bisa." Aku menjawabnya dengan bahasa Jepang.

"Hei kenapa tidak bilang dari tadi? Aku kan tidak perlu repot-repot memakai bahasa Inggris," ucapnya. Kali ini dengan bahasa Jepang.

"Kau tidak tanya." Aku merebut kertas itu dari tangannya dan membacanya.

"Hei, tidak sopan sekali. Kau mau kulaporkan pada pihak universitas?"

Sialan. Egois sekali. Padahal kertas ini kan milikku. "Haesh. Ya sudah aku minta maaf."

"Minta maaf yang benar, tatap lawan bicaramu."

Ngadi-ngadi ya ini bocah. "Baiklah, aku salah, aku minta maaf," ucapku mencoba tulus dengan menatap wajahnya yang terlihat menyebalkan di mataku. Aku harus mengalah kali ini. Aku tidak mau kuliahku di Jepang terganggu hanya karena bocah tengik ini.

"Kalau kau benar-benar merasa bersalah, berikan aku nomor ponselmu." Taka mengatakan itu semua tanpa beban.

"Tidak mau. Kita tidak berkepentingan," ucapku ngotot.

"Ini sangat penting," balasnya tidak kalah ngotot.

"Sepenting apa?"

"Sepenting beasiswamu di Jepang."

"Sialan. Kau mengancamku?"

Dia tertawa dan menyerahkan ponselnya padaku. Dengan malas aku mengambil dan mengetik beberapa angka di sana. Ketahuilah, nomor yang kuberikan ini hanya asal tekan. Bukan nomor asliku. Dia menerima ponselnya lagi dengan girang.

Astaga. Perjalananku sangat terganggu.

Aku memejamkan mataku dan berpura-pura tidur agar dia tidak menggangguku lagi. Ternyata aku benar-benar ketiduran dan terbangun ketika merasakan guncangan pesawat. Jantungku kembali jumpalitan.

Aku kembali mencengkeram seat beltku. Namun tanpa disangka, Taka menarik sebelah tanganku dan memindahkannya di sandaran tangan bangku tengah yang memang itu haknya. Meskipun aku baru pertama kali naik pesawat, namun aku sudah tahu kalau sandaran tangan di bangku tengah pesawat itu adalah haknya penumpang yang memang duduk di situ.

Tangannya masih setia memegang tanganku. Modus sekali ya. Kalau tidak sedang ketakutan begini, pasti aku sudah memakinya. Setelah turbulensi, aku segera menarik tanganku. Jangan beranggapan kalau aku sedang tersipu, tentu saja tidak.

Perjalanan selama tujuh jam di atas pesawat ternyata cukup melelahkan. Hari sudah sore saat aku tiba di bandara. Aku melepas jaketku begitu turun dan berkumpul dengan rombonganku. Cuacanya cukup panas mengingat di Jepang saat ini memang sedang berlangsung musim panas.

Saat aku sedang asyik mengobrol dengan Aya, tiba-tiba kuncir kudaku disentil dari samping.

"Sampai bertemu lagi, Aisy," ucap orang yang menyentil rambutku. Namun aku tidak membalasnya. Itu Taka, dia berjalan melewatiku dengan tetap memasang wajah tengilnya. Lalu dia berhenti di ujung sana melayani beberapa orang yang meminta tanda tangannya.

"Eh bukannya dia rocker yang itu ya?" Aya terkejut.

"Memang."

"Kok doi kenal lo?"

"Ck." Aku berdecak. "Dianya aja yang sok kenal."

"Si anjir ada kesempatan bagus malah mendadak tolol lo." Aya menoyor kepalaku.

"Berisik ah."

Tidak lama, salah satu perwakilan dari universitas Jepang datang menjemput kami berempat. Selama perjalanan, aku begitu bersemangat. Melihat pemandangan Jepang yang selama ini kudambakan. Aku tidak menyangka bisa menginjakkan kaki di Jepang dengan menggunakan beasiswa.

Ini hari pertama di Jepang dan masih belum ada jadwal. Jadi saat ini kami berempat akan beristirahat saja di asrama. Terdapat dua ranjang tingkat di sisi kiri ruangan ini. Dan terdapat rak buku dan lemari baju di sisi kanan ruangan.

Aku memilih untuk tiduran di ranjang atas dekat jendela. Sedangkan Aya di ranjang bawahku. Dan dua teman lainnya dari Indonesia yang kuketahui namanya adalah Viana dan Nadia, mereka akan tidur di ranjang sebelah yang dekat pintu. Mereka adalah peserta yang lolos dari kampus lain.

Aku gabut dan membuka aplikasi Youtube. Video ONE OK ROCK muncul di rekomendasi.

Jariku bergerak menekan video itu. OOR sedang membawakan lagunya yang berjudul Decision versi akustik. Kenapa bocah tengik itu terlihat sangat kalem di video ini? Dia menyanyi dengan sangat indah, sambil memainkan gitar di tangannya.

Tunggu dulu. Apakah aku baru saja memujinya?

*****

Nagai Hikari | Takahiro Moriuchi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang