Predestination Paradoxical

305 15 4
                                    

Aku mengalami masa kecil yang cukup mengenaskan dan traumatis ketimbang anak-anak tetangga seumuranku. Ketika umurku enam tahun, aku menjadi saksi mata pembunuhan orang tuaku. Aku masih ingat bagaimana Papa dan Mama dibunuh. Mereka dibunuh di kamar tamu dengan tiga belas tembakan bersarang di dada.

Aku juga masih ingat rupa sang pembunuh. Dia seorang pria yang kutaksir berumur dua puluhan akhir, tingginya hampir dua meter, berkulit cokelat, bertulang pipi tinggi, berhidung mancung. Wajahnya bersih dari rambut, dan matanya yang berwarna biru jernih menyala-nyala penuh kebencian sewaktu membunuh.

Mama menyuruhku untuk bersembunyi. Namun, entah bagaimana pembunuh itu bisa menemukan diriku yang meringkuk di dalam lemari kamar.

"Jangan takut, aku dari masa depan."

Saking merindingnya, mulutku nggak bisa terbuka, tetapi aku masih punya daya untuk menatap mata si pembunuh. Aku nggak tahu kenapa, nyala kebencian dari dalam sana berubah menjadi sorot kasihan. Dia tersenyum lembut lalu mengelus puncak rambutku.

"Aku nggak akan membunuhmu karena kita terikat takdir. Mungkin habis ini kamu akan dendam padaku, tapi nggak apa-apa. Kamu nggak akan menderita lagi."

Setelah berkata-kata aneh, dia berjalan keluar kamarku. Sesaat aku masih membeku. Baru setelah lima belas detik berlalu, kuberanikan diri untuk mengejarnya.

"Tunggu!"

Terlambat, dia sudah nggak ada.

***

Sepuluh tahun berlalu, aku tumbuh dengan baik, seperti kata sang pembunuh. Aku dibesarkan Bibi Charlotte dan melalui waktu yang berjalan dengan bahagia, walau kenangan buruk itu masih segar dalam ingatan, seolah baru terjadi kemarin sore.

Aku masih ingat, bertepatan dengan si pembunuh sialan itu minggat, polisi datang. Mereka bilang ada yang menelepon minta tolong. Padahal aku belum bicara apa pun pada siapa pun. Para polisi menemukan orang tuaku yang bersimbah darah, tetapi mereka nggak menemukan senjata kecuali peluru yang bersarang di dada.

Berhubung aku diminta bersaksi, kukatakan sejujur-jujurnya. Walhasil, polisi mengiraku nggak waras gara-gara trauma, dan nggak berapa lama kemudian, aku menjalani terapi pascatrauma.

Lantas, kasus ini?

Ditutup lima tahun kemudian tentu saja, dan menjadi salah satu bahasan kesukaan para penggiat konspirasi.

Lalu adik Mama, Bibi Charlotte, memutuskan untuk menjadi waliku. Beliau orang yang baik, tetapi setiap kali melihatku, matanya memancarkan sinar kekhawatiran yang kentara. Beliau sering menanyakan bagaimana keadaanku dan apa yang kuinginkan. Sejatinya, aku nggak pernah menginginkan apa pun kecuali satu hal.

"Bibi percaya nggak, mesin waktu itu ada? Lalu, apakah orang dari masa depan bisa kemari?"

Wajah Bibi Charlotte memucat, padahal wajahku kutata setenang mungkin.

"Ada-ada saja, mana ada yang begitu? Pembunuh itu paling berdusta atau semacamnya."

Kepalaku mengangguk. Mungkin saja. Hidup nggak seperti film yang waktunya bisa kita maju-mundurkan seenak jidat. Walau aku masih penasaran, kusimpan hal itu rapat-rapat.

"Kalau begitu, apa Papa dan Mama punya musuh yang mengerikan?"

Itu nggak mustahil. Papa pejabat pemerintah dan Mama adalah ilmuan. Mana mungkin mereka nggak punya musuh?

Bibi Charlotte menatapku prihatin.

"Bisa jadi. Kita kan, nggak bisa membuat semua orang menyukai kita. Orang tuamu pasti sedang apes dibenci orang sinting."

Angkasa BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang