Dua Sisi Koin

32 1 0
                                    

Katanya, perempuan membutuhkan waktu satu bulan untuk benar-benar melupakan hubungan yang terputuskan. Sedangkan laki-laki bisa langsung melupakan, tapi, dalam kurun waktu yang sama, dia akan kembali teringat hubungan tersebut.

Maka sisi mana yang akan kamu baca terlebih dahulu?

***

Sinar matahari merambat begitu cepat, menyelipkan diri di antara sela tirai untuk membangunkan sosok yang tertidur begitu pulas. Ruangan yang semula gelap perlahan diterangi oleh cahaya tersebut. Cicit burung pun ikut menghiasi suasana pagi, kali ini sukses membuat dia yang terlelap mulai membuka mata.

Sementara di sisi lain, ada yang sudah lebih dulu bangun. Dia duduk di tepi ranjang, jemari menggenggam erat sisi selimut yang tersingkirkan. Terlihat bekas air mata yang semalaman mengalir di kedua pipinya, bahkan ada bengkak yang tampak jelas di bawah mata. Satu usapan pelan diberikan di sana, menimbulkan rasa perih yang cukup untuk membuatnya merintih kecil.

Mereka berdua, di waktu yang sama, melangkah turun dari ranjang masing-masing. Yang satu langsung beranjak menuju kamar mandi, sementara yang lain melangkah ke luar kamar. Langkahnya begitu lambat dilakukan, seperti menikmati waktu yang sedang berjalan padahal bukan itu yang dia rasakan.

Ini adalah kisah dari dua insan bernama Ardha dan Rena.

***

Tanggal merah adalah angka yang dinantikan sejuta umat. Tak terkecuali Ardha, pemuda berumur tiga puluh tahun dengan perawakan tinggi nan kurus. Rambutnya dipotong cepak, sudah bosan melewati masa menggondrongkan sang mahkota. Saat ini dia sedang menikmati kopi pahit di salah satu warung langganan, duduk bercengkerama bersama dua pria paruh baya yang menikmati minuman berbeda. Satu sedang sibuk menenggak teh tawar, sementara yang lain memutar sendok dalam genggaman agar gula pasir yang tadi ditaruh bercampur dengan susu. Jangan tanyakan kenapa bapak kedua minum susu seperti itu, mungkin dia pecinta minuman—kelewat—manis.

Percakapan mereka sempat terhenti kala suara dari siaran televisi memenuhi pendengaran. Ardha mengangkat wajah, mata terfokuskan pada layar benda segi empat yang sedang menampilkan berita. Dia sampai tak mendengar bagaimana dua lawan bicaranya kembali berbincang, membicarakan topik yang dihindari olehnya sejak beberapa hari lalu.

"Hei, Nak Ardha."

Satu tepukan di pundak menyadarkan Ardha akan lingkungan. Pemuda itu dengan cepat melafal istigfar sebelum mengalihkan perhatian pada kedua bapak di depan.

"Maaf, Pak. Saya tadi fokus nonton TV," ucapnya tanpa lupa menyelipkan nada bersalah. Terdengar tawa khas orang tua bersamaan dengan satu tepukan lagi mendarat di tempat yang sama.

"Ndak apa-apa, Nak Ardha. Kopinya diminum dulu."

Ardha mengangguk kecil, meraih kopi—yang sudah tidak sepanas tadi—lalu menghirup isinya pelan.

"Kok Nak Rena sudah ndak pernah ke sini, ya? Kayaknya sudah berapa hari Bapak ndak lihat dia."

Hampir saja Ardha tersedak minuman pahit itu. Beruntung tak ada yang menyembur, karena dia paksa dirinya untuk menelan semua cairan di dalam mulut. Ardha mengusap bibirnya yang basah, merasa salah tingkah di depan tetangga.

"Aduh, Pak. Sudah putus saya sama Rena," balas pemuda itu dengan suara serak. Efek hampir tersedak memang begini jadinya. "Dia enggak bakal ke sini lagi."

"Kok kamu ndak cerita, toh? Bisa putus itu kenapa?"

Alasan kenapa Ardha tidak mengumumkan status single-nya sekarang ... karena ini. Pertanyaan dari para tetangga saja mulai datang bertubi-tubi.

Angkasa BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang