Cempaka

18 2 0
                                    

Habis sepekan sejak aku terisak-isak ganas di pekarangan rumah Cempaka, keadaanku belum juga membaik. Modemagazijn Au Bon Marche[1], pabrik sandang yang Papa amanatkan, bahkan total tak pernah kuurusi.

Kamarku ada di lantai dua, berdinding beton kualitas tinggi yang Papa pesan langsung dari Netherland. Ia melintasi lautan, berlabuh di Tanjung Priok, lalu diangkut dengan kendaraan besi. Jelas terjamin kualitasnya. Namun, suara dokar di jalanan sana dapat kudengar sangat jelas, seolah dinding ini hanya terbuat dari bilik tipis. Itu menandakan aku sepenuhnya terjaga.

“Sudah fajar, Gelijk[2].” Suara serak yang menyapaku adalah Darupati, ajudan utusan Mama yang kemudian menjadi teman karibku.

“Apakah loyalmu menguap, Darupati? Sudah kubilang, jangan sekali-kali kau mengusikku.”

Tiada suara lagi yang kudengar selain bunyi dokar dan orang berbincang semakin ramai. Darupati mungkin saja lelah membujukku bangun, tapi tak kudapati pula bunyi langkahnya melewati pintu seperti kemarin.

Belum sempat aku membuka mata, tanganku disentak kuat hingga menyebabkan aku terbangun tegak. Bukan lagi terbuka, mataku terbeliak merasakan panas menghantam pipi, yang disebabkan tangan besar Darupati.

“Demi Allah, setelah Nyai Ageng Sapariah, kaulah yang aku hormati lebih dari kepalaku sendiri. Namun, kalau aku hanya mendapati kau yang berputus asa, lebih baik aku kembali menjadi jongos atau bergerilya di Koetaradjadsaat[3].”

Di sela tulang pipi yang berdenyut nyeri, terlintas lagi di benakku sesosok perempuan Inlander[4] dengan senyum menawan, seorang  pengajar Sekolah Rakyat yang diam-diam menebar bibit perlawanan. Ia tegas, tetapi perilakunya lebih anggun dari adab Totok[5] sekalipun.

———

Kurang dari sepekan, berkat kemahiranku mengorek informasi dari anggota KNIL[6] kenalan Papa, kudapati kabar ke mana belahan hatiku digelandang. Sama seperti Inlander lain yang memberontak, Cempaka digiring menuju Buitenzorg[7] untuk dijadikan buruh paksa perkebunan dan pabrik karet—yang atas kuasa Tuhan adalah milik Papaku.

“Kau tak bisa hengkang dari Bandoeng[8] dengan statusmu sebagai pribumi, Sakaraga. Mau tak mau, kau harus gunakan pengaruh Papamu.” Jika Darupati sudah memanggilku dengan nama yang diberikan Mama, ia sedang berperan sebagai sahabatku.

Cempaka, sayangku, bila untuk menemuimu harus kutempuh jalan yang kau dan aku telah kutuk, maka akan kutempuh tanpa ragu.

———

Tak sulit membujuk Papa untuk memindahkanku ke Buitenzorg. Mengurus perkebunan dan pabrik alih-alih mengawasi Modemagazijn Au Bon Marche, memang sudah menjadi hajatnya sejak dahulu. Namun, mati-matian kusangkal sebab bertolak dengan nurani.

Totok, Indische[9] atau pribumi sekalipun tak jadi soal. Yang penting ke mana hati nurani berkiblat, haruslah kepada kemanusiaan.” Perkataan Cempaka sewaktu pertama kali aku mengenalkan diri sebagai Indische, terngiang kembali di telinga.

Dengan dokar yang ditutupi kelambu sutra, aku melewati berhektar-hektar lahan yang dipadati romusa dan diawasi ketat puluhan KNIL. Getir hatiku, tetapi harus kututupi dengan raut angkuh demi mengelabui Meneer[10] Soarez—rekan sejawat Papa yang bertugas membimbingku.

Kurang dari sehari, kudapati kabar Cempaka amat nelangsa. Beberapa kali menolak menjadi gundik, membuatnya harus merelakan punggungnya disapa cambuk. Pernah tersiar kabar gadisku gila, sebab menenggelamkan diri di kubangan kotoran—tidak mandi berminggu-minggu hingga terkena cacar—demi menolak para petinggi dan anggota KNIL yang ingin menjamah tubuhnya. Ia juga pernah dikurung di jeruji bawah tanah saat kedapatan menyulut perlawanan di kalangan pekerja.

Sesungguhnya, aku marah bukan kepalang.

Beralasan memantau para pekerja, kusisir seluruh bagian lahan demi menemukan Cempaka. Hatiku berdetak amat kencang saat mendapati gadisku berada di antara para pribumi yang memikul tong getah karet. Kulit pualamnya berubah menjadi cokelat gelap. Tak ada lagi gaun sutra membalut tubuhnya, yang tersisa hanya jarik lusuh. Namun, sorot matanya yang cerdas nan cantik sama sekali tak memudar.

Kulemparkan senyum semanis madu, berharap ia menyambutku dengan genggaman tangan, seperti saat aku menghantarnya pulang selepas mengajar di SR dahulu.

Namun, alih-alih membalas dengan tabik favoritku, ia malah menghantarkan sorot sinis. Matanya menyisir sandang yang aku kenakan. Hanya para petinggi dan Netherland murni yang memakai seragam sepertiku.

Jangan salah paham, manisku. Jangan kauantar tatapan serupa melucuti nyawa dari raga.

“Puji Tuhan yang telah mempertemukan aku denganmu kembali, Cempaka.”

“Hidup baik kau, Meneer Hendrik Van Brouver?”

“Aku ke sini untuk membawamu pulang, Cempaka.”

“Menjadikanku gundikmu, heh? Jangan pikir aku tunduk hanya karena menjadi budak di tanah sialan ini.”

Belum sempat aku meraih jemarinya untuk menenangkan dengan usapan lembut—seperti dahulu jikalau ia resah, salah seorang KNIL Indische menendang tulang punggungnya hingga tersungkur, berjarak sejengkal dari alas kakiku.

“Wanita sial! Tunduk kau pada tuan baru kita, atau isi senapan ini bersarang di otakmu!”

Cempaka berdecih, menatap dengan kemurkaan yang membakarku utuh. “Demi Allah, Sakaraga. Hatiku hanya seperti tersengat lebah saat dizalimi bedebah asing. Mereka memang keparat, tetapi hatiku remuk redam saat dizalimi manusia yang darahnya mengalir tanah airku. Kau! Kau lebih sial dari anjing yang memamah belulang tuannya.”

Aku yang pengecut ini tak bisa berpolah saat melihatnya digelandang menjauh, ditodong laras panjang, disepak sol sepatu.

Cempaka, manisku. Sungguh, tak perlu kaupertanyakan ke mana larinya setiaku. Masih padamu yang jelita, dan tanah surga yang sebagian panji-panjinya mengalir di darahku.

Tekadku masih sama; membawamu kembali ke haribaanku, mengusir mereka yang menggelandangmu macam kera, di tanahmu yang semestinya sejahtera.

Manisku, sungguh memang sakit dikhianati yang semestinya padu. Maka, siapkan hatimu, sebab barangkali setelah tanah kita merdeka, budak dan tuan serupa saja darahnya. Barangkali, yang menjelma menjadi penjajah adalah bangsamu sendiri.

Barangkali.

-- SELESAI --

Glosarium:
[1] Pabrik dan toko baju di jalan Braga pada masa penjajahan Belanda
[2] Tuan
[3] Aceh (masa penjajahan)
[4] Pribumi murni
[5] Belanda asli
[6] Tentara Hindia-Belanda (umumnya beranggotakan pribumi dan Indische)
[7] Bogor (masa penjajahan)
[8] Bandung (Masa penjajahan)
[9] Peranakan Hindia-Belanda
[10] Panggilan hormat

Angkasa 10: 3(Ma-H) Arene Rin

Angkasa BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang