Aku punya sepotong cerita tentang tiga orang anak. Kejadian ini seperti rekaman beruntun tanpa rekayasa apa pun. Ini benar-benar murni karena kusaksikan secara langsung.
Kisah ini berawal dari pagi hari yang cerah, kala tanah masih basah karena hujan turun semalaman. Walau matahari sudah memberi salam dari timur, masih terlihat awan tipis menggantung di angkasa. Kalau begini, sepertinya siapa pun tidak ingin bangun dari tidurnya.
"Ah, di sini sejuk. Aku ingin tidur seharian," kata salah satu dari penghuni di sana.
Tempatku ini memang sebetulnya sepi, hanya akan ramai dikunjungi orang-orang pada saat perayaan tertentu. Salah satu momennya adalah saat ini; satu hari sebelum lebaran. Orang-orang datang bersama keluarga. Ada yang sekadar berkunjung, ada pula yang memanfaatkan situasi ini untuk berdagang.
Kali ini, aku dikunjungi seorang anak laki-laki, setelah sebelumnya tidak ada satu orang pun yang menengok barang sebentar, bahkan tak juga Pak Joko penjaga tanah ini yang sering bersih-bersih halaman depan.
Pada awal perjumpaan kami, anak itu meminta maaf, lalu menyebutkan namanya. Tanpa menanti perkenan dariku, dia mulai buka suara.
"Sudah lima tahun Budi tidak berkunjung ke sini. Seharusnya Budi malu datang dengan tangan kosong seperti ini."
Oh, anak itu bernama Budi. Dan dia memanggil dirinya sendiri dengan nama.
Suaranya tidak begitu jelas, sebab sesekali dia menunduk lalu terdengar isak tangis yang tertahan. Karena itu, cairan lengket menempel di hidungnya, dan usapan demi usapan tangannya pada wajah ia lakukan demi menyingkirkan bagian tak nyaman. Ingin rasanya aku menjauh, hanya saja aku sudah terpatri dalam tanah. Brengseknya, dia mengusap-usap kepalaku pakai tangan yang berlendir itu.
"Bisnis Budi hancur, Bun. Budi udah nggak punya siapa-siapa lagi. Istri dan anak pergi gara-gara Budi nggak punya apa-apa."
Aku hanya diam mendengarkan. Sebetulnya aku ingin membalas usapan yang dia berikan. Apalah daya, tangan tak sampai.
"Bun, maafin Budi kalau selama ini telantarin Bunda. Maaf, Budi nggak bisa jadi anak yang berbakti saat itu."
Sadar juga kau anak durjana, tenggelam duniawi sampai lupa segalanya, keluhku.
Banyak yang dia katakan sampai awan datang menutupi matahari. Aku tahu ini hanya siasat langit karena tidak ingin mendengarkan ceritanya lagi.
Baru ditetesi sedikit oleh tumpahan air langit, anak itu pamit karena takut kehujanan.
Hujan kali ini bikin kaget saja, sekejap datang sekejap pula ia beranjak. Tak lama kemudian, terlihat dua orang anak lagi yang mendekat. Kali ini salah satu di antara mereka membawa sekeranjang bunga.
"Assalamualaikum, Bun. Ana baru bisa datang tengok Bunda lagi. Tahun ini Ani ikut sama Ana. Abang Budi cerita, dia juga datang ke tempat Bunda."
Ana, gadis berkerudung biru, selalu berkunjung hanya satu kali dalam setahun. Dialah yang memberiku sekeranjang bunga. Berbeda dengan kakak kembarnya, Ani, yang baru kali ini menampakkan wajah, setelah sebelumnya aku hanya pernah melihatnya di hari pertama aku menghuni tempat ini.
"Assalamualaikum, ini Ani, Bun. Sudah lama rasanya, Ani meninggalkan Bunda." Dia diam sesaat, mengingatkanku akan Budi, kakaknya. "Bunda, Ani rindu Bunda. Ani mau menyusul Bunda saja," sambungnya dengan terbata-bata.
Ana menegur, "Ani, kenapa bicara begitu di depan Bunda?"
Ada satu rahasia yang si anak tengah sembunyikan. Aku tahu itu, melihat dia cuma bungkam dan menutupi wajah dengan kerudungnya.
"Ana," katanya kemudian, "kamu tahu kesalahan yang kubuat, bukan? Dan itulah yang membawa Bunda sampai berada di sini."
Ah, aku jadi ingat sekarang. Dulu, sebelum aku diletakan pada tanah ini, aku sempat dengar bahwa Bunda mendadak jatuh sakit karena ulah anak yang bernama Ani. Segelintir orang berbisik kalau anak itu telah melakukan dosa besar, bahkan berlipat-lipat. Zina dan pembunuhan.
Jangan salahkan aku yang menguping. Itu tidak kusengaja. Saat itu posisiku berada di samping ibu-ibu pengajian.
"Tapi itu dulu. Sekarang kan, kamu sudah janji untuk taubat dan minta maaf sama Bunda."
Memang, Ana si bungsulah yang tampak lebih dewasa dibanding dua saudaranya yang lain. Jemarinya mengusap air mata kakak kembarnya. Lalu, diajaknya Ani untuk berdoa. Membawa rasa sejuk datang melingkupi kami saat mereka membacakan Al-Fatihah.
"Bunda, sebelum pamit, Ani benar-benar minta maaf. Ani sudah membuat Bunda sakit dan menderita. Maafkan Ani, Bunda." Kesungguhan dalam kata-katanya mampu aku rasakan, sampai tanah ini seolah berguncang.
"Ana juga minta maaf, Bunda. Ana cuma setahun sekali bisa berkunjung ke sini. Tapi kami berjanji untuk selalu mendoakan Bunda setiap hari. Bunda yang tenang ya, di sana."
Mungkin aku akan sendirian lagi selepas anak-anak pergi, tetapi doa mereka akan menjadi cahaya di sekelilingku saat gelap datang. Kupikir, aku akan tenang di sini tanpa kedinginan lagi.
Hei, kamu yang berada di bawahku. Bahagialah sekarang, karena anak-anakmu sudah memberikan tempat yang baik untukmu di sisi-Nya.
[]
Angkasa 9: 0(D-C) Kleon Eugene
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Bercerita
Short StoryAda satu semesta, dengan berlapis-lapis angkasa. Matahari-matahari pada tiap angkasa gemar dan lihai bercerita. Maukah kamu mendengar cerita mereka?