Abimana dan Hatimin

27 2 0
                                    

Akhir-akhir ini, isu kiamat sudah dekat telah merebak ke seantero galaksi. Banyak planet gonjang-ganjing: yang ukurannya kecil sudah musnah, yang ukurannya sedang sering terjadi bencana, yang ukurannya besar masih tetap seperti biasa. Namun, bukan berarti planet-planet besar ini tidak was-was dengan fenomena besar bernama kiamat.

Abimana, salah seorang penduduk planet besar, mulai khawatir roda kehidupannya semakin terpuruk. Kurva perekonomian jelas pasang surut, gara-gara isu kiamat omset jadi mengerut. Abimana harus mencari cara bagaimana menaikkan taraf hidup. Sebelum kiamat benar-benar terjadi di planetnya, paling tidak dia sudah pernah menjadi orang berada.

Suatu hari Abimana mencari-cari pekerja yang mau menambang sumur minyaknya. Ladangnya ada di bagian paling utara planet, dekat sebuah gunung, dua danau, dua hutan pinus, dan satu bukit landai. Sumur itu ada di tengah-tengah, jumlahnya dua di timur dan barat, dan hanya dipisahkan gunung.

Betapa potensialnya ladang itu. Minyak yang dihasilkan saja sampai tumpah ruah ke tanah dan mengenai sepatu Abimana. Penduduk lain di planet itu rata-rata saudagar kaya, kecuali salah satu orang bernama Hatimin. Dia adalah seorang pembuat plakat nama dan nomor sesuai pesanan. Orangnya sangat jujur, teliti, dan sederhana.

Abimana tidak mengenal Hatimin, begitu pula sebaliknya. Namun, ada suatu ketika mereka dipertemukan di sebuah transaksi. Abimana menginginkan sebuah plakat nama besar seukuran layar tancap untuk dipasang di lahan sumur minyaknya yang baru, agar semua orang di planet ini tahu seberapa luas ladangnya. Di lain sisi, Hatimin selalu membuat plakat nama sesuai dengan akta lahir pemesan, boleh ditambahi gelar jika memang ada ijazahnya.

Kabar terakhir dari planet tetangga sebulan yang lalu, katanya, planet berbentuk bulat sudah didatangi raksasa pembawa gada. Bangunan seketika porak poranda, gedung-gedung bertingkat tumbang, jalanan amblas, jeritan bersahut-sahutan dengan suara gelegak magma. Kiamat planet bulat terlihat biasa seperti hancurnya planet-planet kecil.

Dua minggu yang lalu ada lagi kabar dari planet besar sebelah, yang punya bentuk pipih seperti tampah, mempunyai poros tepat di tengah. Pinggirannya seperti jurang, kalau penduduknya berbondong-bondong ke tepian bisa-bisa jomplang. Namun, memang seperti itu yang terjadi. Gaya gravitasi di sana sangat aneh. Kiamatnya cuma karena posisi planet terbalik, penduduknya jatuh ke ke antah berantah yang gelap dan tak berujung.

Sejak saat itu Abimana terus uring-uringan. Orang-orang tidak mau bekerja padanya dan lebih memilih membangun usahanya sendiri. Jadi, mau tak mau dia harus menjadi bos merangkap pekerja. Itu lebih baik daripada Abimana mati karena kelaparan sebelum kiamat.

Sumur minyak semakin bertambah, pompa angguk ada di mana-mana. Abimana semakin membabi buta mengeksploitasi planet tercinta, sampai-sampai dia mendapat julukan gagah perkasa. Kekuatan fisiknya membuat orang lain berdecak kagum, tetapi tidak dengan jenis pekerjaannya.

Kata orang-orang, penarikan sumber daya alam yang berlebihan membuat kiamat semakin dekat. Namun, Abimana membantah dengan pernyataan kalau bentuk planet mereka sangat berbeda dengan planet mana pun di galaksi.

Di antara semua planet di galaksi, memang planet tempat tinggal Abimana dan Hatimin yang paling kaya sumber daya alamnya. Namanya planet Human, bentuknya juga paling unik. Kalau planet lain berbentuk bulat, pipih, dan donat, maka Human berbentuk persis seperti jasmani manusia. Dia menjadi satu-satunya planet yang tidak berdiameter, dan kebetulan letak ladang sumur minyak Abimana berada di provinsi Wajah, negara bagian Kepala.

"Memangnya planet kita bentuknya bulat? Pipih? Yang bentuknya donat saja masih aman sampai sekarang. Bentuk planet kita ini spesial. Saya menjaga ladang sumur minyak dengan baik. Setiap hari dan setiap saat saya semprotkan vitamin supaya minyak tetap terproduksi," jawabnya ketika segerombol orang berdemo di depan muka.

Hatimin yang saat itu sedang merancang gaya huruf untuk nama Abimana ikut mengkeret. Pasalnya, kalau dia benar-benar membuatkan Abimana plakat yang bagus, itu artinya dia mendukung apa yang sedang dilakukan kliennya. Eksploitasi besar-besaran akibat isu kiamat tentu tidak dibenarkan meski dalihnya mampu menjaga lingkungan.

"Kami tetap tidak setuju. Kiamat memang sudah dekat, tetapi yang dilakukan Saudara membuat kiamat dipercepat. Jika struktur tanah di provinsi Wajah rusak, bagaimana kami bertahan hidup? Sumur-sumur semakin banyak, semakin lebar. Sebentar lagi pasti akan terjadi ledakan bencana alam!"

Suara-suara itu terdengar semakin lantang. Hatimin di belakang punggung Abimana merasa tertekan. Apa yang diorasikan penduduk memang betul dan sesuai dengan kenyataan. Hatimin selaku pembuat plakat yang jujur semakin bimbang. Jika di provinsi Wajah ditancapkan satu plakat besar bertuliskan 'Milik Abimana', sudah tentu para penduduk itu akan pergi karena secara hukum mereka tidak bisa mengusik kepemilikan orang lain. Namun, suara hati Hatimin berada bersama orang-orang itu.

Sebenarnya nama asli si pembuat plakat bukanlah Hatimin, melainkan Hati Nurani. Kata Hatimin hanya sebuah singkatan dari dua kata: Hati dan Miskin. Hatimin adalah sebuah refleksi dari seseorang bernama Hati tetapi tingkat perekonomiannya termasuk miskin. Dia menerima nama itu, karena menurutnya mungkin saja dengan adanya julukan tersebut maka orang-orang akan lebih mengenalnya, pesanan plakat semakin banyak dan laris.

"Aku ingin mendukung para penduduk itu, tetapi aku sudah terlanjur menerima pesanan Tuan Abimana," sendunya.

Palu dihantamkan lemah, tanpa semangat dan setengah hati. Sebagai orang yang jujur, tentu pekerjaan ini amatlah berat bagi Hatimin. Seumur hidup sebisa mungkin dia menjauhi dosa, tetapi kali ini seperti ada dorongan besar untuk berbuat jahat satu kali saja.

"Jika apa yang kuperbuat ini sangatlah buruk dan berdosa, maka aku akan menerima semua resikonya, Tuhan," ucap Hatimin dalam hati. Ternyata dia lebih memilih nekat dan menggugurkan predikat jujur yang selama ini terpegang teguh.

Kali ini Hatimin melakukan hal yang sama seperti orang-orang lakukan padanya, yaitu membuat julukan atau ringkasnya plesetan nama untuk Abimana sebagai aksi protes. Palu dihantamkan keras, penuh semangat, dan sungguh-sungguh. Plakat dibuat serapi dan sejelas mungkin.

Setelah pekerjaannya selesai, Hatimin langsung mengusung plakat sebesar layar tancap ke depan dan ditanam dalam-dalam. Kokoh dan garang menjulang di sana sebuah nama: Tuan Abaimana.

.

.


Angkasa 15: 4(P-C) Chochienta 

Angkasa BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang