"Re, ada yang mau aku omongin sama kamu."
Rena ingin menanggapi, tapi kesibukan membuatnya enggan. Banyak rekapan yang harus diselesaikan, dan saat ini, itu lebih penting daripada mendengarkan cerita dari Kiran. Paling-paling kalau tidak menjulid, gadis itu akan membuat gosip baru soal apapun yang dilihat hari ini.
"Dih, gitu sama aku sekarang?" Kiran menatap Rena kesal dan berhenti mencatat dokumen, tak menyangka rekan kerjanya itu tidak menggubris.
"Daripada ngejulid enggak jelas, mendingan kamu selesain kerjaanmu dulu," saran Rena.
Kiran mendengus. Bukannya terus mencatat, gadis itu justru mengembalikan pena dan menutup buku catatan dengan keras. Bagaimana bisa Rena justru mengacaukan salah satu hal yang biasa ia lakukan saat sedang senggang?
"Padahal tadi aku mau cerita soal Gilang ke kamu, lo."
Kegiatannya berhenti kala nama itu diucap. Rena menatap gadis di sebelahnya penuh tanda tanya, seolah siap mendengar apa yang akan dikatakan oleh Kiran.
"Denger-denger dia lagi deket sama Mega, cewek yang baru gabung ke sini, Re."
Oh, si Mega itu? Gadis yang baru tiga minggu kerja di sini. Lebih terampil dan cekatan daripada mereka berdua. Memiliki paras cantik pun senyum manis. Tak jarang kaum adam menaruh hati. Hanya saja, sepertinya Mega tidak pernah menggubris soal itu.
"Deket doang, kan? Enggak jadian?"
"Kenapa? Cemburu, ya?"
Rena membuang muka cepat-cepat, tak ingin terlihat kalau wajahnya sudah memerah. Bohong jika ia berkata sama sekali tidak cemburu. Mendengar kata 'dekat' antara Gilang dan Mega saja berhasil membuat hatinya berdenyut.
"Kenapa kamu enggak langsung aja nyatain perasaan kamu ke Gilang, Re?"
"A-aku punya alasan."
***
"Gimana kerjaan tadi? Aman, kan?"
"Aman dong. Cuma masih ada beberapa lagi yang belum aku selesain. Kenapa?"
Gilang tersenyum di balik helm yang dipakai, lantas menggeleng singkat dan terkekeh. Pemuda itu mengendarai motor dengan tenang dalam laju sedang, sementara Rena duduk di belakang.
"Aku cuma enggak mau kamu capek aja, Re. Bisa ditabok Tante Rina kalau anaknya sampe capek gara-gara aku."
Rena terbahak, satu tangannya menepuk bahu Gilang. "Apaan sih? Kita kan satu kantor, Lang. Kerjaan kita juga beda."
"Iya sih, tapi tetep aja ...."
"Tetep apa?"
"Aku enggak mau kamu kenapa-napa."
Lima kata itu berhasil membuat Rena membeku. Apa pria ini tidak berpikir kalau kata-kata barusan berhasil membuatnya melambung tinggi; membuat jantungnya semakin berdegup karena dikhawatirkan seperti ini?
Bersahabat sejak kecil jelas menimbulkan rasa yang tidak biasa untuk Rena. Gadis ini sama sekali tidak menyadari pada awalnya. Ia saja bingung bagaimana perasaan itu hadir dan bertambah? Berawal dari perasaan kagum, sampai pada akhirnya ia jatuh cinta pada sahabat sendiri.
"Ngomong-ngomong, kamu enggak pernah naksir sama aku kan, Re?"
Pertanyaan sederhana, tapi berhasil membuat Rena terdiam beberapa detik. Ia ingin berkata jujur tapi terhalang, seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya.
"Kenapa?" tanya Rena.
Gilang tersenyum lagi—Rena bisa melihatnya dari kaca spion motor. Sangat manis, hinggga membuat gadis ini terpaku di bangku belakang. Senyum tak biasa, tapi ... menimbulkan perasaan lain yang tiba-tiba menyerang hati si hawa.
"Aku enggak pernah nganggep kamu lebih dari sahabat dan aku enggak mau salah satu dari kita menjauh jika itu terjadi," ungkap Gilang. Ia menoleh sejenak pada Rena dan melanjutkan. "Karena aku naksir sama Mega, Re."
Mati-matian Rena menahan diri untuk tidak menangis sekarang. Tidak, selama ia masih di dekat Gilang. Padahal hatinya sedang remuk, hancur karena bertepuk sebelah tangan.
Mungkin bungkam adalah satu-satunya cara, atau kagum saja dari jauh, dalam diam. Daripada Gilang tahu, lalu menjauh.
Angkasa 24: 4(B-H) Minrin Hwang
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Bercerita
Short StoryAda satu semesta, dengan berlapis-lapis angkasa. Matahari-matahari pada tiap angkasa gemar dan lihai bercerita. Maukah kamu mendengar cerita mereka?