[Songfic] Twilight Journal

16 1 0
                                    

𝗦𝗼𝗻𝗴𝗳𝗶𝗰: 𝗜𝗨 – 𝗘𝗶𝗴𝗵𝘁

𝚄𝚗𝚍𝚎𝚛 𝚊𝚗 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐𝚎 𝚜𝚞𝚗
𝚆𝚎 𝚍𝚊𝚗𝚌𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚗𝚘 𝚜𝚑𝚊𝚍𝚘𝚠𝚜
𝚃𝚑𝚎𝚛𝚎 𝚒𝚜 𝚗𝚘 𝚜𝚞𝚌𝚑 𝚝𝚑𝚒𝚗𝚐 𝚊𝚜 𝚍𝚎𝚌𝚒𝚍𝚎𝚍 𝚏𝚊𝚛𝚎𝚠𝚎𝚕𝚕𝚜
𝙼𝚎𝚎𝚝 𝚖𝚎 𝚒𝚗 𝚝𝚑𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚖𝚘𝚛𝚢 𝚝𝚑𝚊𝚝 𝚠𝚊𝚜 𝚘𝚗𝚌𝚎 𝚋𝚎𝚊𝚞𝚝𝚒𝚏𝚞𝚕
𝙵𝚘𝚛𝚎𝚟𝚎𝚛 𝚢𝚘𝚞𝚗𝚐

***

Sejak mulai menua, rutinitas senja Hegbert selalu sama. Saat dilihatnya angkasa mulai tersentuh warna jingga, dia akan keluar menuju bukit di belakang rumahnya, lalu duduk beralaskan rumput. Secangkir teh dalam genggamannya diseruput. Dalam diam, dia menghayati dinginnya angin berembus lembut.

Hegbert selalu membawa buku jurnal. Di sana dia tuliskan beragam cerita mengenai hari-harinya, lebih seperti surat yang ditujukan kepada seseorang tercinta. Hegbert tidak perlu kacamata, karena penglihatan tuanya masih bagus, dan tulisannya tiada beda sejak dia masih belajar di kampus—rapi seperti ketikan komputer.

Senin, delapan belas Mei, tahun dua ribu dua puluh.

Pertama-tama, Sayang, mari ucapkan selamat ulang tahun untukku. Hahaha ....

Hegbert menarik senyum. Terngiang di telinganya suara merdu sang istri saat menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Terbayang pula betapa manis senyum yang tercipta di wajahnya.

Hari ini aku membeli hadiah untuk diriku sendiri. Sebuah humidifier sebagai persiapan untuk menghadapi musim panas yang kering. Aku melalui perjalanan panjang untuk sampai ke toko di tengah kota, dan itu menyenangkan. Membayangkan aku berjalan berdua denganmu sambil bergandengan tangan juga terasa menyenangkan.

Aku berdiam di toko lebih lama dari yang kuperkirakan. Kamu tahu kenapa, Sayang? Karena, aku mendengar mereka memutarkan lagu yang bagus sekali. Aku ikut bernyanyi dengan lirih sambil berpura-pura melihat-lihat barang—padahal aku sudah memegang humidifier dan bersiap menuju kasir.

Setelah lagu itu selesai, barulah aku menuju kasir, kemudian keluar dari toko.

Hegbert berhenti sebentar. Dia mendongak untuk sekadar memandang langit, di mana gumpalan awan halus melayang. Tak berselang lama, sekelompok burung beterbangan dengan formasi segitiga. Ke manakah mereka hendak menuju? Hegbert yang penasaran terus memandanginya sampai hilang dari pandangan.

Ada semangkuk ubi yang diletakkan di sisi kanan Hegbert. Dia mengambil satu buah, kemudian bersuap. Rasanya hambar dan tidak lagi hangat, tetapi Hegbert tetap menyantapnya dengan nikmat.

Ubi itu membuatnya kembali teringat kejadian tadi siang. Senyumnya lantas mengembang. Setelah menghabiskan ubi di tangan, Hegbert lanjut menulis di buku jurnal.

Dalam perjalanan pulang, aku membeli ubi panggang.

Kupikir setelah itu, aku bisa langsung pulang sesuai rencana. Tapi lagi-lagi aku terdistraksi.

Tidak seberapa jauh dari pedagang ubi, kudapati diriku berada di antara kerumunan penonton pertunjukan musik jalanan. Duh!

Kupikir itu karena aku merindu ingin mendengarkan musik. Radioku rusak dan belum sempat kuperbaiki. Mungkin setelah ini akan kulakukan.

Omong-omong, mereka bermain dengan sangat bagus. Dan kamu tahu, Sayang? Salah satu lagu yang mereka mainkan adalah lagu yang sama dengan yang kudengar di toko tadi.

Aku berdiri di sana sampai pertunjukan selesai. Benar-benar sampai selesai. Ketika mereka tengah berkemas, kuhampiri dan kuberi ubi masing-masing sebuah. Mereka tentu terkejut. Aneh sekali tiba-tiba ada kakek-kakek bule yang datang memberikan ubi.

"Aku suka sekali saat kalian membawakan lagu urineun orenji taeyang arae, membuatku teringat akan istriku," ujarku tulus. Kusebut lagunya begitu karena tidak tahu judulnya.

Wajah mereka langsung semringah, kemudian sibuk bungkuk-bungkuk sambil mengucapkan terima kasih. Tipikal orang Korea sekali.

Kemudian semua terjadi begitu saja. Kami mengobrol sambil duduk di anak tangga. Aku senang sekali, karena mereka begitu ramah. Kami banyak tertawa seakan tidak ada perbedaan usia. Sayang, kamu tahu ‘kan, aku ini berjiwa muda. Hahaha ....

Mengenai lagu itu, mereka ceritakan padaku kisah dibaliknya. Katanya itu adalah lagu yang ditujukan untuk para sahabat sang penyanyi yang telah tiada. Aku terenyuh hingga tidak bisa berkata apa-apa.

"Terlepas dari kisah dibaliknya, lagu tersebut memang indah sekali. Ah! Bagaimana kalau Kakek menyanyikan lagu itu untuk istri Kakek?"

Hn?

Aku tertawa mendengar usulan itu.

Semula aku tidak terlalu mengindahkan. Tapi disepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkannya.

Sayang, bagaimana? Apakah kamu mau mendengarku menyanyikan lagu itu? Pelafalan bahasa Korea-ku sekarang sangat bagus, namun aku ragu apakah masih bisa memainkan gitar seperti dulu.

Tulisan itu begitu panjang. Hegbert tidak menghitung sudah berapa lembar yang telah tergores pena. Saat menyadari hari mulai gelap, Hegbert berhenti. Sudah cukup cerita untuk hari ini.

Buku dia tutup, kemudian dikancing. Hegbert memangkunya dengan hati-hati.

Begitulah rutinitas senja Hegbert selalu sama. Saat dilihatnya angkasa menggelap, dia masih berdiam di bukit belakang rumahnya, tetap duduk beralaskan rumput. Secangkir teh yang sudah dingin diseruputnya. Dalam diam, dia menghayati dinginnya angin berembus lembut.

Kedua matanya terpejam, lalu membuka perlahan. Tak berselang lama, dia menemukan dua anak manusia tengah menari tersorot sinar mentari.

Itu Hegbert bersama Yeonsu-nya, dalam kenangan mereka yang selamanya muda.

***

Pada saat ini, Sayang, aku bisa menyaksikan kita menari di bawah jingganya mentari. Tanpa bayangan, tanpa kekhawatiran. Suara angin membawa merdu tawamu. Lalu, aku pun ikut tertawa. Aku tertawa dengan bahagia.

Yeonsu sayangku, aku rindu. Dan aku bahagia karena hingga kini masih bisa merindukanmu.

Angkasa 26: 0(T-C) Serisa Ki

Angkasa BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang