Be Together

43 3 1
                                    

Aku nggak tahu siapa yang punya ide jahanam dengan mengurutkan tempat duduk berdasarkan peringkat kelas. Buatku, ini metode yang diskriminatif dan sudah kuno. Anak-anak sepertiku nggak seharusnya dipaksa untuk bisa menguasai semua mata pelajaran demi mencapai nilai sempurna. Kalau memang kemampuanku bukan di matematika atau kebahasaan, seharusnya mereka mau menerima kelebihanku di bidang olahraga atau tarik suara.

Memangnya kalau nggak jago matematika, aku nggak bisa dihitung sebagai manusia?

Sebagai siswa di urutan terakhir, aku bisa melihat dua bangku kosong yang tersisa sebagai pilihan. Yang satu di sebelah Sam, si Tukang Ngorok yang bisa kuperkirakan hampir nggak pernah mencuci kaos kakinya, dan sisanya di sebelah ... siapa sih, itu?

"Aku duduk di sini, ya?"

Pilihanku jatuh pada dia-yang-bukan-Sam. Pemuda setinggi tiang listrik itu menengokku, kemudian mengangguk tanpa bersuara. Aku nggak sampai menanyakan namanya karena name-tag di bajunya sudah cukup jelas.

Park Chanyeol.

Kayak nama tukang jual kue ikan.

***

Dalam sebulan menjadi teman sebangku Park Chanyeol, bisa kuhitung pakai jari berapa kali aku bicara dengannya. Dia sangat suka membaca buku-buku tebal tentang pembentukan alam semesta dan seisinya. Malahan, kalau seisi kelas dilanda gempa juga, kupikir dia bakal tetap anteng membaca. Atau kalau mau yang sedikit lebih santai, dia suka membaca buku tentang teori kuantum atom. Meski buatku, itu nggak santai sama sekali, sih.

"Apa yang kamu baca?"

Aku hampir nggak percaya kalau Chanyeol bakal tiba-tiba menanyakan bacaan yang kubawa hari ini. Seri terbaru One Piece tentunya, apa lagi?

"One Piece. Kamu mau baca? Aku punya koleksi lengkap di rumah. Besok kubawakan."

Tanpa menunggu persetujuan, besoknya langsung kubawa setumpuk seri One Piece ke hadapannya, dengan bonus senyum ramah di wajah.

"Kalau nggak salah, ada yang robek di volume enam belas. Aku rebutan sama Kyungsoo waktu itu. Nanti saja kuceritakan."

Dan selama jam istirahat, aku nggak melihat anak itu di kantin. Kayaknya sudah mulai lembur membaca di kelas. Baguslah, aku kasihan sama isi kepalanya yang berasap memikirkan alam semesta setiap hari.

***

"Baekhyun, yang robek ternyata volume delapan belas."

"Oh, ya? Aku akan minta ganti rugi Kyungsoo kapan-kapan. Masih dendam aku padanya."

"Kyungsoo siapa?"

"Keset di rumahku."

"Ha? Bukannya 'Welcome', ya?"

Apaan sih? Garing. Namun, di hari itu, untuk pertama kalinya kami tertawa bersama.

***

Hari ini Chanyeol nggak masuk. Kata banyak orang, Chanyeol memang sering absen pada waktu-waktu tertentu di tahun keduanya dulu. Beberapa dari mereka berspekulasi kalau anak itu mengidap penyakit berbahaya, sehingga butuh waktu beberapa minggu untuk pemulihan.

Bisa jadi benar. Dia saja malas berolahraga begitu. Dia punya kaki yang panjang, tetapi jarang sekali dimanfaatkan. Terkadang aku bertaruh, siapa yang kalah mencapai pintu maka dia yang bayar makan siang, dan selalu aku yang menang. Mungkin kemalasannya itu membuatnya jadi penyakitan.

Padahal aku sudah bawa seri One Piece lanjutan buat dibaca olehnya. Sayang sekali.

***

Angkasa BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang