Jono Kardono. Bukan Jono, bukan Dono. Panggilannya Nono karena suka berkata no. Ungkapan ini punya banyak versi. No. No, no. Oh, no. Nooo. Tersedia pula versi bahasa resmi dan kearifan lokal.
Versi lokal edisi emosi:
"Coook."
Nono terbiasa mengawali pagi dengan menyalakan televisi. Ada kebijaksanaan di balik pengkhianatannya pada tuntunan lagu kanak-kanak. Karena di negeri ini semuanya bersaing bikin gerah. Lirik bangun tidur 'ku terus mandi harusnya diikuti oleh berangkat kerja lah apek lagi.
Hidup memang tidak bisa selalu idealis. Makanya Nono kelayapan di rumah kontrakan dengan pipi berbekas air liur dan kerutan bantal, juga badan berlapis kaus bau keringat. Untung bujang.
"Coook. Opo-opoan iki?!"
Kembali lagi dengan saya, versi lokal edisi emosi.
Menyalakan televisi adalah blunder besar dalam kehidupan Nono pagi ini. Satu harinya terancam tidak bahagia. Jangankan hedonis apalagi eudaimonis. Buat biasa-biasa saja rasanya Nono pesimis.
Sambil menghirup secangkir kebohongan impor, Nono mengintai televisi. Penyiar berdempul dan bergincu bilang lagi, "Mulai hari ini kita semua wajib naik kereta luncur."
Mbuh kapan dibangun. Kapan direncanakan. Tahu-tahu sulapan, BLAR! Jadilah dia!
Nono menatap ngeri tayangan kereta naik turun naik. Membawa histeria penumpang yang bikin telinga sakit. Orang-orang itu kelihatan bahagia, tapi Nono no. Hidupnya sudah bikin mual, tak perlu dikembangkan lagi menuju muntah.
"Kereta luncur ini dibangun untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu mari bergotong royong menuju kereta luncur nomor satu di dunia."
Naik turun naik. Rel tiba-tiba terputus. Nono hampir kecirit waktu kereta terjun bebas, lurus rus! Duar!
Tayang ulang versi lambat, penumpang masih kelihatan senang-senang saja dalam perjalanan menuju akhirat. Nono baru sadar. Mereka semua pakai kacamata kuda.
"Keretanya memang masih belum siap." Narasumber menoleh ke belakang. Posisinya terlalu jauh buat lihat bangkai besi campur mayat. Pasti ketutupan wahana-wahana terbengkalai. Makanya dengan semringah beliau mengatakan, "Tapi tenang. Saya jamin semua akan baik-baik jika kita semua taat naik kereta luncur."
Kacamata kuda yang sama menutup pandangan penyiar berdempul dan bergincu di stasiun bayaran. Dengan senyum, Mbak itu bertepuk tangan dan memuji, "Luar biasa!"
"Luar biasa gundulmu. Asu!"
Jangan kaget kalau nonton berita negeri ini. Negara lain memang suka mengabarkan manusia, tapi di sini terlalu damai sehingga berita lebih senang menceritakan kehidupan petugas taman hiburan dan penghuni kebun binatang. Makanya penonton suka nyebut nama-nama hewan sambil nonton televisi. Jangan berprasangka buruk. Penonton hanya mengemukakan kenyataan.
Otak Nono berputar lebih sering daripada rotasi Merkurius. Naik turun naik. Waktu turun saja Nono megap-megap beli barang impor, apalagi naik.
Memikirkan masa depan membuat Nono lupa waktu. Matahari mulai merangkak naik, pertanda dia sudah terlambat sekali. Kedengaran nada dering nyaring menginterupsi introspeksi.
Nono meletakkan ampas kebohongan. "Halo?"
"Halo halo! Kamu pikir ini sudah jam berapa?!"
Di luar jendela terlihat monster raksasa berjalan-jalan. Mungkin bakal tambah besar setelah naik turun naik. Keluar harus pakai pelindung, itu pun masih bisa jadi makanan. Apalagi tempat kerja Nono dipenuhi sesama manusia. Monster itu suka tempat gegap gempita.
"Hei, diam saja kamu! Berangkat atau tidak?!"
Jono Kardono. Bukan Jono, bukan Dono. Panggilannya Nono karena suka berkata no. Namun, di muka petinggi dia hanya bisa bilang, "Yes."
Begitu juga ketika belanja barang-barang impor. Ketika jalanan dibuka lebar-lebar supaya baik yang suka maupun murka boleh dimakan monster. Ketika mulai hari ini mereka semua wajib naik kereta luncur.
Naik turun naik.
Tanpa sarapan. Cuma cuci muka. Nono keluar rumah kontrakan sambil memasang kacamata kuda. Meninggalkan televisi yang sudah mati-satu-satunya saksi Jono Kardono dipanggil Nono karena suka berkata no, paling sering oh no.
[]
Angkasa 16: 1(T-C) Alice
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Bercerita
Short StoryAda satu semesta, dengan berlapis-lapis angkasa. Matahari-matahari pada tiap angkasa gemar dan lihai bercerita. Maukah kamu mendengar cerita mereka?