"Eh Mata kamu udah bangun?" Tanya mama dengan raut bingung memperhatikan ku yang sudah rapi dengan seragamku.
"ehem, dari tadi." Jawabku ringan sambil mengambil kotak susu di tengah meja makan.
"bukannya kamu masih dikamar ya? Apa mama yang salah lihat?" sambil mengucek mata seperti tidak percaya aku sudah ada di depannya. "ada acara apa kamu kok sudah siap sepagi ini?" lagi lagi mama bertanya penuh selidik.
"sudah ma, Mata memang anak yang rajin." Kata seorang laki laki yang kini turun dari tangga. Ya dia papaku, laki laki berumur 40 tahun. Juga sudah siap dengan seragam kantornya.
"ehem, aku anak yang rajin." Lagi lagi jawabku ringan, sambil membusungkan dada dengan bangga.
"Kita sepertinya harus mengganti mesin cuci," Mama bicara di sela mulut mengunyah, segera melupakan topik denganku sebelumnya.
Papa menelan roti yang baru saja dia kunyah. "Eh, sekarang rusak apanya?"
"Pengeringnya rusak, tidak bisa diisi penuh. Kadang malah tidak bergerak sama sekali. Tadi sudah diotak-atik. Mama menyerah, Pa. Beli baru saja." Mama berkata, sedikit mendengus sebal.
Aku terus menghabiskan omelet, tidak ikut berkomentar. Pembicaraan sarapan pagi ini sudah dipilih. Mesin cuci. Itu lebih baik—daripada Mama tiba-tiba bertanya tentang sekolahku, bertanya ini, bertanya itu, menyelidik ini, menyelidik itu, lantas membacakan sepuluh peraturan paling penting di keluarga kami.
Baik. Sepertinya aku juga harus menyudahi sarapanku yang belum sepertiga nasibku sama dengan banyak remaja lain, harus berangkat ke sekolah bersama orangtua. Mereka buru-buru, maka aku ikut buru-buru. Mereka telat, aku juga ikut telat.
"Ayo berangkat." Papa berjalan lebih dulu.
Aku mengangguk menjawab pertanyaan papa, aku segera bangkit dari dudukku lalu megambil tas yang sedari tadi ku geletakkan di atas sofa.
"Jangan lupa sarapan lagi di sekolah, Mata." Mama mengingatkanku dengan raut wajah ceria seperti biasa. Mama selalu saja memposisikan sarapan menjadi kegiatan paling penting di awal hari. Kata mama, sarapan membuat tubuh kita punya tenaga untuk menjalani hari yang akan kita lewati. Dan aku akan selalu tersenyum ketika mama mengucapkan kalimat itu setiap pagi mtanpa bosan.
"Mata nggak akan lupa, Ma." Kataku tegap. "Peraturan ketujuh keluarga kita: sarapan selalu penting." Aku mengangkat tangan, hormat.
Mama mengacak poni rambutku juga melambaikan tangan, melepas kepergian ku ke sekolah bersama Papa.
Papa sudah lebih dulu bergegas masuk kedalam mobil, ditangannya masih membawa setangkap roti, di dalam mulutnya juga masih penuh dengan roti. Papa terlihat begitu tergesa gesa, mungkin di kantornya sedang ada pekerjaan besar.
Entahlah, aku tidak terlalu banyak tau tentang pekerjaan rang tuaku. Yang aku tau, papa begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Sepanjang perjalanan aku banyak diam, lebih memilih memperhatikan jalan. Sesekali papa mencomot sembarang topik, mengenai pekerjaannya sampai kucing tetangga yang hilang entah kemana. Dia selalu berusaha membuat suasana menjadi hangat.
"eh mata, nanti kamu pulang sore?" pandangannya masi tertuju pada jalanan yang mulai dipenuhi dengan kendaraan kendaraan.
"eh iya Pa, nanti Mata pulang agak sorean, mau ngerjain tugas sama Caca." Jawabku cepat, tanpa memalingkan wajah. Aku masih menikmati mendungnya langit pagi ini, aku suka hujan, entah mengapa hujan bisa membuatku tenang.
"oh yasudah, jangan pulang malem malem tau. Dengar dengar ada hantu penunggu gang depan rumah kita." Kata papa mencoba menakutiku dengan gurauannya yang selalu berhasil membuatku tersenyum riang. "kalau mau, Caca ajak sekalian kerumah. Kita bisa makan malam bersama." Ujar Papa menambahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permulaan (KillerS Series)
RomanceNamaku Mata, Jesica Mata Kusuma. Hidupku hanya sebatas warna putih, cukup cocok untuk disebut monoton. Hingga datang suatu hari, seorang laki laki kusut mulai mewarnai hidupku. Seorang laki laki kusut yang menyimpan banyak rahasia, seorang laki laki...