BAB XI

11 0 0
                                    


Aku mendapati diriku sedang berdiri di sebuah ruangan, ruangan yang amat asing bagiku. Putih... hanya itu yang kudapati di ruangan ini. Seperti tampat tak berujung, dan tak bersisi, hanya ada alas yang menjadi pijakan bagi kakiku. Aku bisa bergerak bebas, tapi sejauh apa pun aku berjalan, aku tetap tidak menemukan akhir dari ruangan ini. Tanganku mencoba mengapai gapai sesuatu, tapi nihil. Seakan aku berada di tempat tanpa dimensi, ruang hampa yang tak di huni oleh seorang pun.

Aku mulai menjerit jerit panik. "seseorang tolong aku!" sungguh aku tidak tau apa yang harus ku lakukan. Kularikan tubuhku ke sembarang arah, berharap ada mukjizat. Tapi yang kutakutkan benar benar terjadi, aku tidak menemukan apapun. Samar samar terdengar sebuah bunyi yang ku kenal, bunyi itu terdengar halus dan menyenangkan. Sebuah bunyi yang selalu bisa membuatku nyaman, sebuah bunyi yang tidak prnah gagal membuatku rileks.

Aku mengumpulkan semua kekuatanku lalu melarikan diriku lagi kearah sumber suara. Susah payah aku berlari mendekati sumber suara, tertatih tatih dan hampir terjatuh karna hampir kehabisan tenaga. Badanku di penuhi peluh keringat ku yang mengucur dari seluruh pori pori kulitku.

Aku melihat sesuatu disana, sesuatu berwarna hitam itu yang menjadi sumber suara tadi. terlihat jelas, hitam diantara lautan putih. Sebuah Piano hitam juga seorang laki laki yang sedang duduk dan menekan tuts dengan perlahan. Laki laki itu mengenakan setelan tuksedo berwarna hitam, tubuhnya tampak tinggi walaupun dalam posisi duduk. Badannya yang tegap juga lengan yang dipenuhi otot bahkan tampak dari luar pakaiannya, seolah menunjukkan kegagahan si pianis yang masih bergelut dengan pianonya.

Setiap nada yang tercipta terdengar lembut, namun terlihat ketegasan pada jari jari panjang yang sedang menari diatas tuts piano. Gerakan tubuhnya seirama dengan nada nada yang mengalun memenuhi ruangan yang tadinya sepi. Rasa takut, dan panik yang tadi mengisi hatiku, kini hilang seluruhnya.

Aku menikmati permainan pianonya, tapi aku tidak bisa melihat wajah sang pianis. Aku melangkahkan kakiku mendekati sang pianis. Tapi aneh, semakin aku mencoba mendekatkan diriku dengannya, semakin besar jarak yang tercipta diantara kita. Aku berhenti melangkah setelah menyadari keanehan ini. Aku mencoba memanggilnya, tapi dia mematung seolah tak ada orang lain disini selain dia. Entah mengapa aku kehilangan ketenangan ku, aku kembali menjerit memanggil sang pianis yang tidak ku kenali namanya itu.

Bahkan aku tidak punya gambaran wajah dari sang pianis, yang aku lihat hanyalah tubuh besar, tegap dan berotot. Berkali kali aku aku menjerit, teteap tidak ada tanda tanda dia mendengarku. Aku putus asa, lagi lagi aku berusaha mengapai gapai udara kosong, berusaha dapat menarik sesuatu yang membuatku mendekat dengan sang pianis sambil terus menjerit.

...

"Mata! Mata! Ini aku Jeselyn."

Aku terbangun dari tidurku dengan peluh memenuhi tubuh, seluruh bagian tubuhku tegang dan terasa pegal semua, seperti habis lari jarak jauh. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal sengal, juga mengatur detak jantungku yang berdegup dengan cepat.

Jadi... semua hanya mimpi? Kenapa begitu nyata? Kenapa aku merasa sedih lantaran tidak berhasil mengetahui siapa sang pianis? Kenapa belakangan banyak hal aneh pada diriku?

Beribu ribu pertanyaan memenuhi isi kepalaku yang berat karena baru bangun tidur, rasanya kepalaku hampir pecah. Tanpa sadar aku memegangi kepalaku dan menundukkan kepalaku ke atas kasur.

"kamu kenapa Mata?" tangan Jeselyn mengusap punggungku dengan perlahan, dan itu membuatku sedikit merasa lebih tenang, "kamu mau minum obat?"

Aku menggelengkan kepalaku yang masih terasa mau pecah itu, aku tidak mau merepotkan Jeselyn yang sekarang terganggu tidurnya karena ulahku. Tapi mimpiku tadi benar benar aneh! Sangat aneh! Kenapa aku tiba tiba bisa bermimpi begitu?

Permulaan (KillerS Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang