BAB VIII

13 0 0
                                    


06.52

Aku sudah nangkring manis di dalam angkot langgananku. Pagi ini angkot masih sepi, aku memilih bangku depan yang masih kosong. Hanya ada seorang pemuda yang duduk di pojok belakang. Dia mengenakan jaket hitam dan juga masker hitam. Aku sempat berfikir yang tidak tidak terhadap orang itu, tapi pikiran jelekku segera menguap ketika orang itu membuka suara.

"bang aku nak turun dimana ya?" Tanya orang itu.

"Bah, mana ku tahu. Kau yang nak turun aku yang pusing." Jawab pak sopir dengan jengkel.

Aku yang tadinya berfikir tidak tidak kini berubah menjadi menahan ketawa. Bagai mana aku tidak tertawa, laki laki itu lucu sekali. Kan dia yang naik angkot, tapi kenapa dia malah Tanya mau turun di mana.

Setelah beberapa perdebatan pak sopir dan laki laki dibelakang tadi, aku hanya mendengar sepenggal. Selebihnya aku tidak tertarik untuk mendengarkannya, aku lebih memilih memperhatikan jalanan yang perlahan di penuhi oleh sibuknya kegiatan penduduk di ibukota. Mulai dari kendaraan roda empat yang menunggu di lampu merah, motor motor yang saling menyalip, hingga beberapa angkutan umum. Muncul tanpa di komando, mungkin memenuhi jalanan Ibukota merupakan tugas yang tidak bisa mereka lewatkan. Setiap hari selalu saja begitu macet.

Setelah perjalanan yang biasa biasa akhirnya angkot yang aku tumpangi sampai di depan gerbang sekolah. Seperti biasa pak sopir berhenti sebelum gerbang sekolah berdiri. Dapat terlihat beberapa siswa yang berjalan memasuki gerbang, beberapa siswa berlari kecil seperti takut terlambat. Di sana Pak Hadi sudah berdiri gagah, satpam sekolah kami itu memang memiliki tampang yang menyeramkan. Bahkan dengar dengar, para kaum badung di sekolah kami lebih takut pada pak Hadi ketimbang dengan guru BP

Aku berjalan melewati Pak Hadi setelah memberi ucapan selamat pagi. Ketika memasuki gerbang, maju beberapa meter kita langsung melihat hamparan kendaraan milik siswa. Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu suka dengan kendaraan bermotor, apa lagi harus melihatnya setiap pagi. Tapi aku harus melewati parkiran untuk sampai di kelasku. Tepat lurus beberapa meter, terdapat satu baris parkiran yang masih kosong tak berisi. Tidak hanya pagi ini, setiap hari pun tidak ada yang mengisi parkiran itu. Selain,

Wroom.

Blar... Blar...

Baru saja aku mau menjelaskan, sang empunya parkiran sudah datang beserta motornya yang berisik sekali itu. Siapa lagi kalau bukan, Brian. Mudah saja tau bahwa itu Brian, dari sekian banyak siswa di sekolah ini, hanya dia yang kendaraannya super berisik.

Tak berlalu lama, Brian melewati ku yang tengah jalan menuju kelas dengan mengendarai motor hijau ngejrengnya. Dan tepat seperti biasanya, dia parkir di tempat parkir khusus. Sebenarnya tidak ada yang mengkhususkan parkiran itu, hanya saja tidak ada seorang pun yang berminat parkir di sebelah Brian.

Brian terlihat sudah selesai memarkirkan motor besarnya, kini dia berdiri di samping motor itu sambil membuka helm dan sarung tangan hitam tebal yang menghiasai telapak tangannya. Seperti biasa, penampilannya semrawut. Seragam yang tidak dimasukkan, lagi lagi pakaiannya kucel dan kusut. Celana sekolahnya juga terlihat sobek di bagian lutut. Tidak ada kesan sedikit pun bahwa Brian merupakan anak dari keluarga kaya yang memiliki banyak sekali Villa, satu satunya hal yang menunjukan dia kaya hanya motor besarnya yang selalu ganti setiap harinya.

Intinya Brian si kusut kini sudah selesai dengan urusan motornya, kini dia membalikkan badannya hendak menuju kelas. Bersamaan dengan gerakan tubuh Brian, sebuah mobil putih melaju dengan kencang dari arah gerbang sekolah. Laju mobil itu tampak pasti tanpa keraguan, sepersekian detik mobil itu menerjang kearah Brian yang masih berdiri di belakang motornya.

Permulaan (KillerS Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang