BAB X

4 0 0
                                    


Kicauan burung burung kecil membangunkanku dari dunia mimpi. Jendela besar di dua sisi kamar juga terbuka, membuat sinar mata hari dapat masuk dengan leluasa. Aku melihat jam dinding yang terpasang di dekat jendela, pukul 06.18.

Aku bernafas lega melihat jam yang masih belum siang siang amat. Aku meregangkan tulang tulangku sejenak setelah bangun dari tempat tidur. Jeselyn sudah tidak ada di sebelah ku, mungkin dia bangun lebih pagi dari ku. Lebih baik aku mandi dan bersiap siap berangkat sekolah, siapa tau Jeselyn dan teman teman sudah menungguku di meja makan.

Dua puluh menit berlalu, aku suda siap dengan seluruh atribut lengkap. Aku mengambil Hoodie hitam milik Brian, berniat mengembalikan padanya. Aku bergegas keluar dari kamar dan langsung menuju ruang makan di lantai tiga. Tadinya aku hampir lupa kebiasaanku di rumah, turun ke lantai satu untuk sarapan mengingat ruang makan ini ada di lantai tiga.

Kosong.

Tidak ada Jeselyn, tidak ada Andre. Tidak ada Jo maupun Celina, apa lagi Tasya. Di depan meja makan hanya ada Brian yang berpenampilang seperti biasa. Rambut berantakan, seragam kusut setengah dekil. Dasi yang entah kemana tak pernah terlihat, juga sepatu tanpa kaus kaki.

"kemana yang lainnya?" tanyaku sambil meraih kursi di sebelah Brian.

"mereka pergi pagi-pagi." Brian yang kini sedang sibuk membuat roti.

Laki laki ini ternyata tidak hanya berantakan soal seragam saja, bahkan sarapannya kini berantakan sekali. Aku terkekeh geli melihat Brian yang masih saja sibuk dengan rotinya yang tak berbentuk karena sudah dilipat sedemikian rupa.

Aku mengangguk mendengar jawaban Brian. "ini Hoodie mu, sini biar aku bantu bikin roti." kataku meletakkan Hoodie hitam itu dipangkuan Brian, lalu mengambil setangkap roti baru dari toples.

Aku mengambil selai coklat di dekat gelas Brian, dan mulai mengolesi roti dengan selai. Ya aku memang sering sarapan dengan roti sih. Bukan karena suka, tapi karena jadwal sarapan di rumah kami yang tidak terduga. Kadang papa berangkat santai, kadang juga berangkat buru buru. Jadi aku sudah cukup terbiasa sarapan dengan roti.

"nah, ini udah jadi." Kataku sambil menyerahkan roti pada Brian.

Bukannya menerima, Brian hanya membuka mulutnya. Tanganku masih mengangkat roti sambil menatapnya bingung. Tiba tiba Brian meraih tanganku, menuntun tanganku mendekati mulutnya. Menyadari sekarang aku seperti sedang memberikan suapan pada Brian, aku jadi salah tingkah. Aku segera meletakkan roti yang baru di gigit sebagian oleh Brian tadi di piring terdekat.

Melihat tingkah ku Brian hanya tertawa geli, dengan santai Brian terus mengunyah roti yang tersisa dimulutnya sambil bertingkah bertingkah cuek seperti biasa.

"cepat habiskan sarapanmu," cetus Brian. "kita terlambat nanti."

Aku mengganguk lagi menjawab kata kata Brian, aku mengambil setangkap roti lagi untukku. Mengolesinya dengan selai coklat dan menuangkan susu dalam gelas bening di depanku. Tak sampai sepuluh menit, roti dihadapan kami masing masing sudah habis bersih, berikut dengan segelas susu yang sudah tak bersisa.

Brian bangkit dari duduknya sambil meraih Hoodie hitam yang tadi kuletakkan di pangkuannya. "pakai dulu, nanti kamu kedinginan." Katanya sambil meletakkan hoodienya tepat diatas kepalaku, membuat rambutku yang tadinya tersisir rapi kini menjadi berantakan.

Aku mengambil hoodie hitam yang diletakkan Brian di kepalaku barusan lalu mengenakannya, aku mengikuti langkah kaki Brian menuju garasi rumah. Brian segera melompat diatas motor merah yang bertuliskan sticker "DUCATI." Sepertinya aku mulai terbiasa dengan motor motor Brian yang super berisik, bahkan menurutku suaranya lumayan keren.

Permulaan (KillerS Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang