29. Sebuah Rencana

14 2 0
                                    

Bus ke arah puncak kini sudah melaju, seluruh murid kelas XI SMA Violet sedang menuju area perkemahan di Bogor.

Elara jadi mengikuti kegiatan ini, matanya kini tak terlalu sembab, berkat mamanya mengoleskan sebuah coanceller katanya, dirinya tak tahu itu untuk apa. Karena, selama ini dirinya hanya tahu bedak, toner, dan lipstik. Hidungnya pun sudah tak memerah. Ia bersyukur, Langit, Tania, dan Rembulan tak bertanya soal apapun tentang kondisi matanya.

Gadis itu kini menatap ke arah luar, dengan earphone yang terpasang di telinganya. Di ponselnya, kini ia sedang mendengarkan sebuah lagu yang memiliki makna keluarga.

Pikirannya melayang di saat neneknya mengungkapkan bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari orang tuanya. Ia berpikir tentang siapa keluarga asli yang sebenarnya, lalu kenapa dirinya bisa diurusi oleh Aluna dan Anton, lalu apakah keluarga aslinya menyayangi dirinya? Air matanya kembali menuruni pipi.

"Kamu kenapa?" tanya Langit yang berada di sampingnya. Ya, lelaki itu duduk sebangku dengannya. Katanya, ia membujuk teman yang seharusnya ada di samping Elara itu untuk bertukar tempat dengannya. Memang, apapun yang berkaitan dengan Elara lelaki itu selalu memperjuangkannya.

Gadis itu menoleh ke arah Langit, lalu ia menggelengkan kepalanya. "Gue gak apa-apa."

Langit tersenyum, tangannya kini mengelus puncak kepala Elara. "Udah aku bilang, ubah panggilan gue-lo El. Kita kan udah pacaran."

Hati Elara berdesir. "I---iya."

"Coba bilang?"

"A ... a ... aku," ucapnya tergagap.

"Pinter," ujar Langit dengan menunjukkan senyum manisnya dan mengacak rambut Elara.

"Langit! Rambut gu---eh aku, berantakan!" kesalnya.

"Ulululu, pacar Langit kesel ya? Jangan kesel-kesel dong, kalau lagi gitu muka kamu itu lucu. Rasanya pengen nyubit."

Elara mencoba merapikan rambutnya seraya menunjukkan wajah kesalnya. "Cubit aja, kalo berani!"

Langit tersenyum miring. "Oh, nantangin nih? Oke." Tangan Langit di arahkan ke pipi Elara, gadis itu terkejut. Niatnya hanya bercanda padahal. Lelaki itu terkekeh melihat pipi Elara yang sudah menunjukkan semburat merah, ah ia semakin gemas jadinya. Akhirnya, Langit berhasil mencubitnya sampai Elara meringis kesakitan.

"Aw!" ringis Elara. "Langit, udah!"

Lelaki itu malah semakin ngeyel, ia mengunyel-unyel pipi gadis itu. Membuat Elara tambah kesal.

"Langit, stop!"

Lelaki itu terkekeh, lalu ia merubah cubitannya menjadi elusan. Ia mengelus pipi itu lembut, matanya menatap Elara lekat-lekat. Mereka saling bertatapan, hingga lima detik.

"El, 831 224," gumamnya.

Elara yang mendengar, mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

"Kamu belum cek google?"

Elara menggelengkan kepalanya. "Belum."

Langit melepaskan tatapannya, lalu ia mengeluarkan ponselnya. "Nih, coba cek. Siapa tahu paket kamu abis kan, makanya aku kasih pinjem."

"Dih, siapa bilang abis? Enggak, orang udah beli kemarin yang 6 gb."

"Sombong!" ledeknya. "Yaudah, nih cek. Pake ponsel aku aja, aku gak mau paket kamu nanti abis."

Elara menerima ponsel itu, walaupun ia tak terima Langit mengatakan paketannya habis. Ia mencari apa maksud dari kata-kata Langit.

Setelah berhasil menemukannya, ia tersipu malu. Di perutnya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan. Ia menatap Langit yang tengah tersenyum penuh arti.

GIRL IS HURT [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang