Chapter 2: philocaly.

44 2 0
                                    

Chapter 2: philocaly.


philocaly;

the love of beauty.

___________


Carabella duduk sambil memagku laptop dengan memandang ke arah luar jendela kereta yang masih melaju menuju stasiun pemberhentian. Rasanya baru kemarin ia lulus sekolah menengah atas kemudian liburan ke Fathiye dan rasanya baru kemarin ia kembali menginjak bumi Surabaya setelah beberapa tahun pindah ke Istanbul. Sayangnya, ia sudah lima bulan berada di Surabaya dan mungkin akan tinggal di kota pahlawan itu lagi.

Meski ia pernah mengatakan bahwa tak akan pernah mau tinggal di Surabaya lagi. Mungkin hanya singah sebentar untuk silaturahmi kemudian kembali kemana hatinya inginkan. Tapi ia kini berubah pikiran dan mungkin akan tinggal di Surabaya lagi bersama orang yang ia cintai. Walau luka itu terasa begitu ngilu ketika berada di Surabaya, tempat dimana luka itu tercipta. Dengan mengumpulkan keyakinan meski hatinya sedikit bimbang, ia akan memberanikan hidup di kota ini lagi. Berdamai dengan kisah masa lalu.

Asal, bersama orang yang ia cintai, ia pasti sanggup hidup berdampingan dengan masa lalu yang menyakitkan.

Memikirkan tentang kesiapan untuk hidup di Surabaya membuat Carabella mengembuskan napas berat. Hidup terkadang terasa cepat seperti kereta yang hanya melakukan pemberhentian singkat di setiap stasiun kemudian kembali melaju hingga pada stasiun terakhir. Hanya saja, manusia tak pernah tau kapan ia akan berada di titik stasiun terakhir dalam hidupnya. Bilama ia merasa berada di stasiun terakhir dalam hidup namun keesokan hari hidupnya masih berlanjut. Tandanya memang manusia jarang memiliki prediksi yang tepat sasaran karena kesempurnaan itu milik Tuhan. Jadi, tak perlu terburu-buru untuk cepat sampai di stasiun terakhir dalam hidup. Jalani dan nikmati hidup meski begitu memilukan dan penuh dengan drama.

"Stasiun pemberhentian terakhir."

Carabella tak mengubris ucapan Alfandy yang duduk di sampingnya, ia tetap asik pada pikiranya sendiri sambil terus menatap ke luar jendela kereta.

"Gelap," gumam Carabella dengan terus termenug, menikmati pemikirannya tentang hidupnya yang terasa begitu cepat.

Sebuah tepukan halus di pundak Carabella membuat Carabella meninggalkan renungannya. "Apa sudah sampai di stasiun terakhir?"

"Sudah lima menit yang lalu," jawab Alfandy dengan mencubit gemas pipi tirus Carabella.

"Aku merasa kereta masih melaju." Kedua mata Carabella mengerjap dua kali agar ia tak merasakan keanehan dalam tubuhnya yang merasa kereta masih melaju.

Alfandy tersenyum, ia meraih telapak tangan Carabella. "Ini karena setiap hari kamu menaiki kereta. Terkadang aku juga merasa begitu bila tubuh lelah."

Carabella menatap penuh tanya pada Alfandy. "Apa tandanya aku sekarang lelah?"

"Mungkin karena kamu setiap hari naik kereta dan duduk di sampingku seperti seorang penguntit."

"Mumpung lagi libur kerja jadi aku ikut kamu kerja biar ada kegiatan."

"Kamu gak capek, duduk di bangku kereta setiap hari," tanya Alfandy dengan riak muka terlihat khawatir sedangkan yang dikhawatirkan terlihat memasang wajah tanpa dosa.

"Lebih capek naik gunung dan pergi ke reruntuhan yang ada di Telmessos." Entah kenapa ia malah membawa reruntuhan Telmessos dalam jawabannya barusan. Hal itu membuat ingatan tentang perjalanan menjelajah reruntuhan Telmessos hadir sekilas dalam bayangan matanya. Sebuah reruntuhan yang menyadarkannya akan kehidupan penuh kejayaan pada akhirnya akan runtuh pula.

Evanescent [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang