Aku, Yusa, dan Jojo baru dua bulan lalu berhasil menyelesaikan studi S1 kami di sebuah universitas negeri di Sumatera Selatan. Sejak itu, kami tiga sahabat seperkuliahan berpisah sementara. Yusa kembali ke Bandung, kota dimana keluarganya bermukim. Aku kembali ke Jakarta, sedangkan Jojo tetap berada di Palembang karena keluarga besarnya memang sejak lama menetap di kota itu.
Dua hari lalu Yusa dan Jojo tiba di Jakarta. Mereka menginap di rumah sepupu Yusa di Komplek Imigrasi Kertapawitan yang terletak di Jalan Daan Mogot kilometer 14, Cengkareng Barat, sebuah kawasan yang masih termasuk dalam wilayah administrasi Jakarta Barat.
Hari itu kami berjanji untuk berkumpul di rumah Pungki dan Priti, sepupu Yusa. Agenda pertemuan kami tak lain untuk mulai mencari lowongan pekerjaan yang menarik, sambil tentu saja berbincang sepuasnya setelah cukup lama terpisah.
Sore itu aku tiba hampir bersamaan dengan Pungki dan Priti yang baru pulang kerja.
"Halo Priti ... Pungki, apa khabar?" sapaku.
"Hai Rayya, apa khabar?" balas Priti.
"Kok kita bisa barengan nyampenya?" ujar Pungki sambil tertawa akrab.
Tak lama Yusa dan Jojo terlihat membuka pintu utama. Pungki dan Priti langsung berjalan masuk melalui teras depan. Aku menyusul mereka setelah memarkirkan mobil di samping kanan teras.
"Ray apa khabar?"sapa Yusa dan Jojo nyaris bersamaan.
"Yus ... Jo ... khabar baik, gimana khabar kalian?" ujarku.
"Alhamdulillah ... alhamdulillah ... baik semua," balas mereka.
"Ayo kita ke belakang aja," ajak Yusa mengajak kami masuk ke dalam.
Aku baru pertama kali berkunjung ke rumah itu. Halaman depan rumah terasa asri dipenuhi hijau vegetasi semi perkotaan. Interiornya tertata rapi meskipun usia bangunannya tak kurang dari seperempat abad, kurasa.
Dua kamar tidur berjejer di kanan ruang tamu yang menyatu dengan ruang duduk keluarga yang kami lewati menuju gawangan pemisah tak berpintu yang memisahkan kedua ruang itu dengan sebuah ruang makan berukuran besar.
Ruang makan yang melebar itu menghadap ke arah taman belakang yang tak terlalu luas. Di sisi kanan ruang makan terdapat dua kamar tidur yang masing-masing berukuran tujuh atau delapan meter persegi, memang tak terlalu besar dibanding dua kamar di depan tadi. Sedangkan di sisi kirinya terdapat pantry dan kulkas yang berdiri sejajar dengan gawangan.
Kami langsung duduk berbincang di meja makan sambil menunggu kopi panas yang diseduh Yusa bisa lebih ramah untuk disentuh bibir dan lidah. Jarum Super dan Gudang Garam Merah melepaskan asap dan koloid ke udara ruang makan itu. Untung saja jendela dan pintu ke arah service area terbuka lebar membuat sirkulasi udara menjadi maksimal.
"Gilaaaaaaa ... heavy smokers lagi barter karbon!" ujar Priti yang nampak segar setelah mandi menjelang maghrib itu.
"Makan malam di sini, kan?" ujar Priti mengkonfirmasi kami bertiga.
"Iya ... terima kasih ... kami gak kemana-mana kok," balasku setengah yakin.
"Ya ... begadang dulu malam ini ... urusan pekerjaan bisa besok aja," ujar Yusa yang langsung diamini oleh Jojo.
"Nah ... sepakat!" sambar Jojo bersemangat.
Tak lama kemudian Pungki bergabung di meja makan panjang itu, duduk bersebelahan dengan Priti yang membelakangi taman.
"Wah pasti lega ya ... kalian semua udah selesai kuliah," ujar Pungki membuka perbincangan baru di meja itu.
"Gak juga ... tunjangan dipotong 50%," ujarku sambil tertawa lepas.
Hahahahaha ... suara tawa langsung menggema menyadari dampak ekonomi yang kumaksud itu.
Pungki dan Priti yang baru bermigrasi ke Jakarta setelah beberapa tahun menetap di Tokyo, langsung memotivasi kami dengan serius ...
"Makanya buruan cari kerja dong," ujar Priti.
"Ya betul jangan kelamaan euforianya," tambah Pungki.
"Siaapppp kapiten!" jawabku setengah berteriak.
"Ini seriusss, Rayya!" tegas Priti sambil melotot kearahku.
"Saya tigarius, Ibu Komandan!" balasku sambil berjalan ke arah pantry untuk mengambil air putih hangat di sebuah termos.
"Udah gak usah dilayani ... autis sejak SD," ujar Jojo sambil terbahak.
"Eh sholat dulu, yuk!" ujar Yusa mengakhiri keseruan yang membentur tepian waktu maghrib hari itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
TARIAN BERDARAH
ParanormalRayya menyaksikan sepasang kekasih dari ras Kaukasoid sedang menari di ruang makan rumah sepupu sahabatnya. Mereka berputar searah dan terkadang setengah melayang. Mata mereka selalu menatap ke arah Rayya tanpa berkedip di tengah gerak tari mereka.