It's All About Us

2.3K 229 93
                                    

Takdir di dunia ini seperti sudah tergambar jelas saat kau menginjak usia 10 tahun. Saat itu, kau akan mengetahui siapa yang menjadi masa depanmu. Apa kau akan mendapati deretan abjad yang membentuk sebuah nama di salah satu bagian tubuhmu, atau kau tak akan mendapatkannya sama sekali. Begitu kejam, namun itu kenyataannya.

Aguero tumbuh di lingkungan yang tidak begitu peduli dengan garis takdir itu. Ayahnya bahkan tak menjalani kehidupannya dengan seseorang yang namanya tertato di lengan kirinya. Karena dari list ibu tiri yang ia miliki, tak ada satu pun dari mereka yang memiliki nama tersebut.

Itu yang membuat dirinya tumbuh tak mempercayai takdir.

Hari itu, saat kakak perempuannya menginjak usia 10 tahun, ia mendengar jeritan dari kamar sang kakak. Ia tak pernah begitu dekat dengan kakaknya, tapi kaki kecilnya tetap berlari ke arah kamar di sebelah kamarnya itu. Ketika ia tiba, ibu dan bibinya sedang memeluk kakaknya yang menangis di lantai.

Dari adik sepupunya Aguero akhirnya tahu. Kakaknya tak menemukan satu rangkaian nama pun di bagian tubuhnya. Itu artinya kakaknya tak memiliki pasangan takdirnya.

Itu pula yang menguatkan pemikirannya mengenai satu hal. Aguero akan mengalami hal yang sama dengan kakaknya. Toh, dilihat dari garis keturunannya ibunya juga tak memiliki nama pasangan takdirnya.

Seminggu kemudian, kakak perempuannya bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di bathtub.

Sejak hari itu, Aguero mulai melupakan tentang takdir yang akan menyambutnya dua tahun mendatang.

Sampai hari itu tiba. Ia tak bisa memejamkan matanya saat waktu hampir menunjukkan tengah malam. Entah kenapa, pemikiran tentang takdir itu kembali menghantuinya. Disaat ia rasa ia sudah mulai acuh pada takdir konyol itu.

Tapi itu kembali menyapanya ketika tersisa dua menit menjelang hari ulang tahunnya yang kesepuluh. Entah sudah berapa lama ia habiskan waktunya dengan menatap langit-langit kamarnya. Entah bagaimana otaknya masih bisa menghitung tiap detik yang bertambah bersamaan dengan suara jam di meja nakasnya.

Hingga tersisa lima detik terakhir menuju tanggal 29 di bulan kesebelas tahun itu akhirnya ia memutuskan untuk menutup matanya.

56... 57... 58... 59... 60.

Tik.

Bunyi sekali dari jam kecil itu menandakan bahwa ini sudah berganti tanggal. Bukan lagi tanggal 28, melainkan tanggal 29. Dan hari ini adalah hari dimana Aguero tepat berusia 10 tahun.

Dua kelopak mata itu masih merekat erat. Hati kecilnya berkata ia tak harusnya membuka matanya. Apa yang ia harapkan? Mendapatkan nama asing di salah satu bagian tubuhnya?

Ia ingin mentertawakan kebodohannya, hampir. Tapi bibir kecil itu tak jadi terbuka saat sesuatu yang tajam menembus kulitnya.

Manik kobalt itu terbuka lebar. Bibirnya kali ini juga ikut terbuka, tapi untuk meringis kencang saat benda tajam itu menggores permukaan kulitnya semakin dalam. Sakit luar biasa. Ia bahkan tak sadar saat tetesan air itu membasahi wajah pucatnya.

Ia mengerang lebih lama, hingga akhirnya rasa sakit itu menghilang begitu saja.

Dan kamarnya kembali menjadi hening menyisakan suara detik jam yang terus berjalan.

Aguero mengingat dengan jelas bagaimana tangan kecilnya bergetar saat menyingkap bahan sutra halus yang menutupi lengan bawah di tangan kanannya. Kain sutra itu terangkat perlahan, memperlihatkan rentetan abjad yang terus bertambah seiring semakin terangkatnya kain itu. Sampai akhirnya abjad lainnya tak tampak lagi.

Bocah laki-laki sepuluh tahun itu kehilangan kata-katanya. Mata kecilnya membola dan bergetar, menelusuri tiap abjad yang membentuk sebuah nama.

Tidak mungkin.

Bamkhun's JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang