Roda yang berputar di jalan yang tak rata menimbulkan sedikitnya getaran. Sesekali badan yang membungkuk hingga tiap helaan nafas bisa terasa begitu dekat di sisi wajah membuat sosok yang terduduk di kursi roda mengharuskan bibirnya bergerak untuk menjawab tiap pertanyaan yang dilontarkan padanya.
Hingga empat roda kecil itu akhirnya berhenti berputar.
Gemuruh dari langit menyambut kedatangannya. Tidak, itu menyambut kedatangan mereka berdua. Pagi tak tampak seperti seharusnya. Awan hitam yang mendominasi langit di atas membuatnya terlihat hampir seperti senja menjelang malam. Angin yang berhembus begitu kencang menambah semakin membuat semua yang ada di sana terlarut dalam suasana sendu.
Pemuka agama berdiri di tengah-tengah. Kepalanya yang sekelabu langit sekarang tak bisa menangkap begitu jelas apa yang diucapkan oleh sang pemuka agama. Kedua kelereng emas miliknya hanya bisa menatap kosong ke satu tempat. Tiga buah gundukan tanah yang masih basah, dihiasi dengan tiga nisan yang menuliskan tempat peristirahatan terakhir orang-orang yang begitu ia kasihi.
Saat itu lah ia merasakan remasan kecil di bahunya. Kepalanya sedikit terangkat, membiarkan emas bertemu dengan biru. Yang kini terlihat begitu kelabu seperti langit di atas sana. Tangannya terulur, mencoba untuk meraih wajah yang tak seharusnya bersedih seperti sekarang. Namun, tangan lain lebih dulu meraih tangannya. Perlahan menautkan jemari yang ada di sana, membuatnya terikat dengan satu sama lain.
Keduanya terdiam dengan posisi yang sama. Dengan jemari yang saling memberi kekuatan satu sama lain. Menatap ke tempat yang sama, dengan tatapan yang serupa. Tak ada satu pun yang bisa menghapus kesedihan yang terlukis jelas di sana. Bahkan dua orang yang saling mencoba untuk menguatkan. Mengabaikan hati mereka yang begitu terluka, tergores, hingga tak menyisakan sedikit pun tempat untuk pisau kecil di dalam diri mereka untuk melukainya lebih jauh.
Gemuruh langit terdengar semakin keras. Hingga satu tetes air dari sang langit jatuh mengenai telapak tangan yang terbuka di pangkuan. Hanya sepersekian detik, sebelum ribuan tetesan lain mulai menyerbu mereka yang ada di bawah sana. Tanpa perlindungan.
Tiap tepukan di pundak diabaikan oleh keduanya. Kedua pasang mata itu tak sekali pun beralih dari tiga gundukan yang akan semakin basah di depan mereka. Bahkan sekedar untuk mengiringi kepergian satu persatu orang yang telah selesai melakukan penghormatan terakhir pun tidak dilakukan keduanya. Mereka terdiam, tak bergerak, di tengah hujan yang semakin deras turun ke bumi.
Srak!
Air hujan tak lagi mereka rasakan menghujam tubuh yang hanya terbalut dengan kain hitam. Warna senada menyapa mereka. Sebuah payung hitam besar kali ini berusaha melindungi keduanya dari sang langit. Membuat sekarang semuanya terlihat begitu jelas. Bagaimana air itu tetap mengalir di sana, di wajah keduanya, meski air hujan sudah berhenti untuk mengganggu keduanya.
"Sudah semakin dingin di sini. Kita bisa kembali kemari saat kondisi Viole sudah membaik."
Tak ada yang menyetujui ucapan Hachuling. Tapi tak ada yang mengelaknya. Perlahan, roda itu kembali bergerak. Membuat kursi roda itu memutar, keduanya kini memunggungi tiga orang yang harus mereka tinggalkan di sana.
Setidaknya mereka tidak sendirian.
Tangan Viole mencari jemari yang meninggalkannya merasakan dingin yang menusuk. Menemukannya tepat di samping bahunya. Tak peduli bahwa tangan itu lah yang kini menggerakkan tubuh tak berdayanya untuk tetap bergerak, Viole menyelimutinya. Tangan pucat yang kini terasa begitu dingin.
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju mobil yang menunggu mereka dalam diam. Ada rasa penyesalan dalam diri masing-masing. Saat baik keduanya tak bisa mengirim mereka ke tempat peristirahatan terakhir. Tapi, ada rasa penyesalan yang berbeda yang tersisa dalam diri keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bamkhun's Journey
AcakThey said, "We have something to tell you about our pages. Will you desire to open our journey?" Hanya kumpulan ide-ide BamKhun yang langsung dituangkan dalam cerita sebelum ide menguap.