-DELAPAN-

114 29 18
                                    

~Langit boleh mendung, tapi gak melulu ada hujan~

Nata memandang kedua sahabatnya tidak mengerti. Sedari tadi Ivy dan Nela terus menatapnya penuh selidik. Seharusnya, Nata yang perlu menyelidiki kehadiran Nela di rumah Ivy. Setahu gadis itu, libur semester masih ada sekitar dua bulan lagi dan Nela yang melanjutkan perkuliahannya di Bandung malah berada di Jakarta.

"Lo pasti ada masalah, kan?" tebak Nela, disetujui oleh Ivy.

Sebelum menjawab, Nata berusaha menetralkan raut wajahnya, berharap dapat menyembunyikan rasa sedihnya. Ia tidak ingin menceritakan apa yang terjadi dengan orang tuanya. Bukannya menutupi, hanya saja ia perlu menenangkan diri dulu sebelum mengungkapkan masalahnya. Maka dari itu, Nata memilih ke rumah Ivy sebagai tempat berlindung dari tekanan batin yang menyiksa.

"Ada. Tapi, lo berdua harus janji gak bakalan gebukin gue. Deal?" tawar Nata. Kali ini ia akan menceritakan tentang Tirta yang kembali lagi memenuhi hari-harinya, sebagai ganti dari masalah orang tuanya.

"Deal!" teriak Nela dan Ivy bersamaan.

"Tapi, kok, Nela bisa di sini?" tanya gadis berambut sebahu itu. Ia hampir melupakan bagaimana bisa Nela ada di tengah-tengah mereka sekarang.

Nela menyengir. "Dua hari ke depan gue libur, gak ada mata kuliah. Jadi, gue mutusin pulang aja. Kebetulan tadi Ivy ngabarin kalau lo mau nginep di sini, dan gue mau ikutan," jelas Nela panjang lebar.

Nata mengangguk mengerti. Embusan napas lelah lolos begitu saja tanpa bisa ditahan oleh Nata. Matanya melihat dua cewek di depannya secara bergantian. Mereka menunggu Nata untuk buka suara.

Ada setitik rasa khawatir jika ia menceritakan tentang Tirta pada dua sahabatnya. Mereka pasti menentang keras perlakuan Nata untuk cowok itu. Namun, Nata merasa perlu menceritakannya. "Jadi, Tirta balik lagi saat niat gue lupain dia udah terkumpul." Hening. Tidak ada yang membuka suara setelah Nata mengatakan itu. Hingga Ivy berteriak di depan wajah Nata.

"Nata! Gimana bisa balik, sih? Jangan bilang gegara pesan suruhan gue?" Nata meraup wajah Ivy, sebal karena air liur gadis itu mengenai wajahnya.

"Jijik, woy! Hilangin deh sikap lo yang suka teriak di depan muka kayak gitu," lelah Nata. Sementara Ivy malah tertawa keras.

Nela yang sedari tadi hanya memperhatikan akhirnya memilih buka suara. "Balik kayak gimana maksud lo, Nat?"

Orang yang disebut namanya pun membaringkan badan di kasur empuk Ivy. "Yah, balik lagi di hidup gue. Ada di sekitar gue." Jeda beberapa detik, Nata merasa sesak sekarang. "Lo pasti inget, setiap gue pengen menjauh, selalu ada hal yang deketin gue sama Tirta. Seperti gue yang selalu sekelompok sama dia waktu sekolah."

Mereka bertiga terdiam. Mengingat bagaimana perjuangan Nata agar tidak ada yang mengetahui perasaannya, bagaimana Nata berusaha menjauhi Tirta. Akan tetapi, memang tidak mudah melupakan seseorang dengan cepat, bukan? Apa lagi Nata dan Tirta berada di kelas yang sama.

Nela tahu betul betapa Nata mencintai Tirta. Dulu, saat pelajaran olahraga, Nela pernah berkata bahwa seorang ayah yang meninggal dan memiliki anak laki-laki, biasanya anak laki-laki itu akan ikut meninggal. Ia tidak tahu dari mana keyakinan itu datang, tetapi karena ucapannya, Nata menangis tersedu-sedu di pinggir lapangan.

"Kali ini hal apa lagi yang deketin lo sama Tirta? tanya Nela, penasaran.

Nata membuang napas kasar lalu mengubah posisi rebahan menjadi duduk. "Tirta minta tolong ke gue buat mata-matain Disya." Ivy dan Nela terkejut bukan main.

Jurnal Biru ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang