Seorang cowok bermata legam lengkap dengan alis tebal terlihat merenung di bawah sinar bulan, duduk di depan rumah bertemankan sunyi. Namun, riuh pemikiran seakan membuat keadaan tetap ramai. Semua terjadi setelah menelaah berbagai artikel tentang ataksi, remaja berbadan tegap itu sampai pada satu kesimpulan. Pengidap ataksi mau tidak mau harus hidup berdampingan bersama kelumpuhan otot yang menyerang secara tiba-tiba, hanya terapi sebagai alternatif terakhir untuk membantu pengidap penyakit tersebut agar bisa beraktivitas seperti biasa.
Akan tetapi, ada juga yang tak bisa bertahan karena ataksia bisa menyebar sampai ke jantung dan membuat kerja alat pemompa darah tersebut tiba-tiba terhenti. Awan memijat pelipis, ingatan akan kakaknya yang sering mengadu kesakitan di bagian jantung membuatnya takut.
"Semoga aja gak gitu," bisiknya.
"Nata mana?"
Cowok yang masih menimba ilmu di sekolah menengah atas itu hampir saja terjungkal dari kursi besi akibat kemunculan sosok laki-laki berbeda dua tahun darinya.
"Sialan! Gak ada sopan-sopannya, nih, orang." Awan menggeram jengkel di akhir kalimat.
Tirta berkacak pinggang setelah mendengar protes dari adik Nata. Dengan perasaan gemas, ia meninju pelan bahu anak itu. "Lo yang gak ada sopan-sopannya sama orang yang lebih tua."
Awan memilih berdecak sebagai jawaban tanpa repot-repot menengok ke arah cowok berambut quiff di sampingnya. Tanpa sadar ia membuang napas kasar sambil mengusap wajah penuh lelah. Langkah yang ia pilih tentu akan membuat kemarahan Nata menguar. Sungguh menguras tenaga. Bukan tanpa sebab ia memilih kenekatannya, ia merasa tingkah Nata menjauhi Tirta tidak lah benar.
Nata mencintai Tirta dan cowok itu juga mulai merasakan hal yang sama, lantas untuk apa sang kakak menciptakan kutub berlawanan arah? Melihat Nata hanya menuangkan seluruh isi hati ke dalam tumpukan kertas sungguh membuat Awan gemas bukan main.
"Malah ngayal. Cepetan Nata di mana? Lo udah janji bilang sama gue." Tirta mulai tidak sabaran karena sedari tadi cowok berpenampilan agak semrawut ini terus mengulur waktu.
"Dia ...." Awan meringis dalam hati. Ia takut jika nanti Nata marah padanya. Ponsel gadis itu saja sengaja tidak di aktifkan agar tak ada yang tahu prihal penyakitnya.
Tirta menatap tajam cowok di hadapannya sembari berpikir ke mana tempat paling memungkinkan bagi Nata untuk pergi. Menurut Ivy dan Nela, rumah nenek Nata berada di Sumatera, jadi tidak mungkin gadis itu ke sana tanpa keluarga. Buktinya, Tirta selalu melihat kehadiran keluarga gadis itu pulang balik ke rumah, meski hanya sebentar. Namun, tanpa kehadiran seseorang yang ia cari.
Ia semakin tidak sabar untuk segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin ia pernah berjanji akan mencari gadis itu tanpa bantuan siapa pun, tetapi ia sudah menyerah. Ivy dan Nela, sahabat cewek itu juga sama sekali tidak mengetahui keberadaan Nata. Semua semakin sulit sebab ponsel Nata tak bisa dihubungi semenjak gadis berambut sebahu tersebut memutuskan untuk pergi.
"Wan, Nata kemana, sih? Kenapa HP-nya gak bisa dihubungi?" cecar cowok beriris cokelat gelap itu, semakin tidak sabaran karena Awan tak kunjung menyambung kalimatnya.
Helaan napas panjang terdengar. Setelah pergolakan batin merampas sisa tenaga, Awan akhirnya berujar cukup pelan, nyaris berbisik, "Di rumah sakit."
"Hah!" Cowok bercelana jin selutut itu sontak membulatkan mata. Belum mendengar lebih jelas mengapa Nata berada di sana sudah membuat jiwa dan raga menengang bukan main. Kekhwatiran menguasai kendali diri.
"Jelasin Nata kenapa!" bentak Tirta. Emosi mulai memuncak karena Awan masih bungkam.
Entah sejak kapan angin mulai berembus kencang, daun-daun bergerak ke kiri dan ke kanan sehingga menimbulkan bunyi merdu di tengah badai dalam hati seseorang. Langit di atas sana semakin menggelap, tak ada hamparan titik terang seperti biasa, bulan pun menghilang setelah tadi sempat menampakkan semburat terang. Tampaknya akan turun hujan.
![](https://img.wattpad.com/cover/230361371-288-k852759.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Fiksi RemajaNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...