-EMPAT BELAS-

108 28 18
                                        

~Aku sudah senang dengan sunyi
Tanpa harus mencari sepi
Selamat malam para pecandu sakit hati
Masih kuat bersabar dengan perih?~

Di sinilah Nata sekarang. Berdiri di hadapan dua cowok. Nata berusaha sekuat tenaga tidak menundukkan wajah cueknya yang berusaha gadis itu ciptakan agar bisa membuat mereka percaya bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.

Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sangat ingin bertanya mengapa Tirta dan Arsyad terlihat akrab, tetapi jika ia buka suara sikap cueknya akan lenyap tak bersisa. Maka dari itu, Nata hanya diam sembari menunggu dua makhluk di depannya bersuara.

Arsyad menatap Nata dengan senyum lebar, tetapi wajah gadis itu tetap saja seperti biasanya, datar dan hanya sesekali tersenyum simpul padanya. Sampai saat ini, Arsyad tidak pernah mengerti mengapa sikap Nata sedingin dan secuek itu jika berhadapan dengannya. Akan tetapi, jika sikap gadis itu hanya untuk membuatnya jengah mengejar, maka Arsyad dapat memastikan ia tidak akan mundur.

"Lama gak pernah liat lo di kampus. Ngehindar?" Arsyad bertanya dengan nada lelucon, seperti yang selalu ia lakukan jika berbicara dengan Nata.

Nata berdeham, mencoba menetralkan kegugupan di wajahnya. Melihat kehadiran Tirta di sini cukup membuatnya gugup, meskipun di dalam hati ia bersorak bahagia sebab Tirta masih mengingat rumahnya. Ia pikir cowok itu hanya akan mengingat tentang Disya.

"Gak, kok. Akhir-akhir ini gue sibuk di komunitas," jawab Nata sekenannya.

"Masih di Komunitas Aktivis Kampus?" tanya Arsyad, hanya ingin memastikan. Nata mengangguk sembari melirik Tirta yang ternyata menyimak obrolannya bersama Arsyad.

Arsyad memutar bola matanya malas kala benda kecil di dalam sakunya berdering. Setelah melihat nama penelpon, Arsyad langsung menjawabnya seraya berlalu dari hadapan Nata dan Tirta.

Hening menyerobot kebersamaan makhluk Tuhan yang katanya bersahabat itu. Sembari menggaruk tengkuknya, Nata melangkah mendekati kursi di depan rumahnya dan memilih merehatkan kakinya yang mulai terasa kebas. Tirta mengikuti gadis itu dan duduk saling berdampingan. Tak lama, Arsyad hadir bersama mesin motor yang menyala.

"Gue pamit bentar. Lagi ada urusan, nanti gue balik," pamit Arsyad dengan perasaan perih di hati. Sekarang ia tahu penyebab Nata tidak bisa mencintainya. Untuk saat ini, Arsyad membiarkan spekulasinya bersemayam di dalam otak. Di saat yang tepat ia 'kan memastikan perkiraannya.

"Ternyata lo sekampus sama Arsyad. Dia sepupu gue." Tirta mencoba membungkam bisu di antara mereka. Ternyata atmosfer awkward tetap saja menyelimuti mereka berdua.

Nata tak memberikan respons. Kedua matanya sibuk memerhatikan batako yang tersusun rapi sebagai jalan masuk perumahan. Ia tidak kaget atas apa yang Tirta katakan barusan, baginya itu mungkin saja. Sekarang Ia berusaha meredam detak jantungnya yang mulai menggila. Tirta yang melihat Nata hanya berdiam diri, kini berusaha memutar otak mencari topik pembahasan.

Cowok itu sebenarnya tahu, gadis di sampingnya ini bukanlah tipe cerewet seperti kebanyakan gadis yang Tirta kenal. Maka dari itu, Tirta memilih Nata sebagai teman curhatnya. Mengingat kata curhat, Tirta langsung disuguhi sebuah anugerah untuk menghempas kecanggungan yang tercipta. Ia bisa menceritakan kesedihan hatinya tentang Disya.

"Nat, lo tahu rasanya patah hati, kan?" Tirta merutuki kalimatnya. Seharusnya ia mengawali sesi curhat ini langsung pada intinya.

Nata tersenyum getir. Ingin sekali rasanya ia berteriak di depan cowok itu bahwa penyebab sakit hatinya selama bertahun-tahun adalah dia, cowok bernama Tirta Derana. Akan tetapi, Nata cuma mengangguk dan menyimpan remuknya sedalam mungkin. Ini bukan saat yang tepat untuk meneteskan air mata karena rasa sesak  yang tiba-tiba menghimpit paru-parunya.

Jurnal Biru ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang