Para tetangga masih memadati salah satu pekarangan rumah yang tak begitu besar di kawasan perumahan mereka. Tak banyak yang datang, tetapi mampu mengukir senyum wanita paruh baya yang terduduk di teras lengkap bersama keluarga. Udara sore berembus tenang, sinar mentari pun perlahan berpindah tempat, pertanda tugas sang surya di ibu pertiwi hampir selesai.
Nata duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hana. Di samping kanan wanita berwajah pucat itu ada Adam–sang suami, dan di sebelah kiri ada Lia. Awan baru saja mendudukkan diri di sebelah gadis itu dengan sepiring salad buah disodorkan untuk Hana.
Wanita paruh baya tersebut tersenyum, menolak permintaan si bungsu. Ia tidak butuh makan, baginya melihat para tetangga melahap makanan yang tersedia ala prasmanan di pekarangan rumah sudah membuatnya kenyang. Ini yang ia inginkan, setelah menghabiskan waktu seharian bersama keluarga, Hana memutuskan membuat pesta kecil-kecilan. Sudah cukup lama ia tidak menyapa para tetangga.
"Cepat sembuh ya, Bu," ucap salah satu tetangga sembari menyodorkan parsel buah dan diterima oleh Lia.
Hana mengerutkan kening, ia baru melihat wanita yang kira-kira sepantaran dengannya itu di sekitar sini. Menengok kehadiran seorang cowok di belakang wanita asing tersebut, Hana kontan menyunggingkan senyum ramah dan tak lupa berucap terima kasih. Nata tak menggubris sekitaran rumah, gadis itu sibuk melamun sambil memainkan rumput. Ia bahkan tidak merasakan kedua orang tuanya sudah beranjak ke para tetangga diikuti oleh Lia.
"Wan, mabar, yuk."
"Males," tolak Awan.
Nata berhenti memainkan rumput. Tanpa mendongak menatap orang yang sudah mengambil tempat di depannya, Nata langsung bangkit, tak lupa meraih gitar adiknya yang disandarkan pada pilar teras. Nata memegang erat alat musik tersebut, membawanya keluar pekarangan dan duduk di atas kursi.
Awan tersenyum miring, matanya tak lepas memandang kakaknya. Gadis itu memetik senar gitar hingga menghasilkan melodi indah.
"Ada masalah apa lo sama dia? Seperti lagi marahan, kayak orang pacaran aja," ledek Awan hingga membuat Tirta tergelak.
Gak sopan banget sama orang yang lebih tua, gerutunya dalam hati.
Cowok bermata tajam itu memicing, atensinya juga mengarah pada Nata, meski sesekali terhalangi oleh tetangga karena berlalu lalang di depannya. Ia menggigit bibir, berusaha menyangkut pautkan sesuatu atas perubahan sikap Nata meskipun ia sudah tahu jawabannya. Akan tetapi, ia tidak ingin terlalu percaya jika belum memastikan kebenaran itu sendiri.
Satu orang lagi, ia hanya perlu satu orang lagi untuk memercayai sebuah kenyataan yang tak terduga. Namun, ia akan menanyakan hal itu nanti. Entah angin dari mana tiba-tiba sebuah tanya mengambang dalam benak dan cukup membuat hatinya tersayat.
"Emang ada orang yang move on cepet banget," gumam Tirta, tetapi terdengar oleh Awan.
"Ada, gue pelakunya. Gue cuma butuh seminggu buat pindah hati ke cewek cuek dan lucu di saat bersamaan karena tingkahnya," papar remaja berusia delapan belas tahun itu.
Tirta spontan menyentuh jidat adik Nata, memastikan apakah anak itu sehat atau tidak. Akan tetapi, ia tak menemukan tanda-tanda Awan sedang sakit. Tirta menggeleng seraya berdecak. Ia tak 'kan percaya begitu saja sebelum berada di posisi tersebut.
"Gak percaya? Awalnya gue juga kayak gitu. Tapi, gue percaya sama penulis takdir makhluk hidup." Awan menepuk pundak Tirta sekilas, lalu meninggalkan cowok itu. "Kalau udah ditinggalkan, pasrahin aja. Apalagi kalau mantan lo udah bahagia sama yang lain," lanjut Awan tanpa menghentikan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Teen FictionNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...